12

284 21 0
                                    

Setelah Lambung Mangkurat mengangkat Putri Junjung buih menjadi anaknya, setiap tahun, Kerajaan Dipa selalu mengadakan persembahan sebagai bentuk syukur karena telah diberikan nikmat berupa kesejahteraan.

Menggunakan pakaian serba kuning, tepat saat matahari bersinar di atas kepala, mereka melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam sungai berair jernih, tempat di mana Lambung Mangkurat menemukan Putri Junjung Buih.

Ada 40 dayang yang masing-masing membawa satu dari 40 jenis makanan. Makanan hasil buatan pengurus dapur istana itu diletakkan di atas air selama ritual persembahan dilakukan oleh Raja Lambung Mangkurat. Ketika riak air muncul di antara mereka, maka prosesi tersebut selesai.

Para dayang yang bertugas kembali ke istana dan membantu dayang lain untuk membagikan 40 jenis makanan yang sama pada seluruh rakyat Tanah Amuntai. Raja beranggapan, kalau dia memberikan seserahan untuk alam, kenapa dia tidak memberikan seserahan untuk rakyatnya juga?

Kegiatan itu sudah berlangsung selama lima belas tahun. Beranjak dewasa, kemampuan Putri Junjung Buih semakin matang. Dia tidak lagi memerlukan perantara seperti ramuan jamu untuk mengendalikan tenaga dalamnya. Tidak ada lagi efek samping dari kekuatan Putri saat menyentuh makhluk hidup untuk diobati. Akan tetapi, hal itu dilakukan secara rahasia dan harus sesuai dengan kriteria Putri Junjung Buih.

Berikan ramuan ini untuk Kakek yang ada di perbatasan Kerajaan Kuripan.

Dayang Amba mengangguk. Setelah Putri Junjung Buih menguasai ilmu tanaman obat, tugas Dayang Amba adalah mengantar ramuan-ramuan itu untuk penduduk Kerajaan Kuripan yang sakit, dalam artian mereka sudah berobat ke mana-mana, tapi tak kunjung sembuh.

Tabib istana awalnya tak percaya saat melihat kelebihan apa yang dimiliki oleh Putri Junjung Buih. Mereka sama-sama membuat ramuan serupa untuk dua orang prajurit korban perampok di perbatasan. Namun, ramuan yang dibuat oleh Putri bisa menyembuhkan prajurit yang satu lebih cepat dari ramuan milik Tabib Leman.

Ketukan dari pintu kamarnya membuat Dayang Amba segera undur diri untuk segera mengantarkan ramuan obat pada orang-orang yang dipilih oleh Putri. Setelah Dayang Amba keluar, Patih Mandastana menunduk sebentar guna memberi hormat pada Putri Junjung Buih, lalu berkata, “Yang Mulia Raja meminta Tuan Putri untuk segera datang ke balai pengobatan.”

Putri bangkit dari posisinya, kemudian melangkah menuju balai pengobatan. Di belakangnya, Patih Mandastana mengikuti.

“Mantri Sakai dari Candi Laras baru saja tiba dalam keadaan … sekarat,” jelas si Patih tanpa ditanya. Dia paham kalau Putri tidak akan bertanya, tapi semua orang akan menjelaskan situasi yang terjadi jika berkaitan dengan sang Putri. Kalimat tak kenal, maka tak tampol juga, akan ditujukan pada orang-orang yang berlaku sebaliknya.

Bukan hanya Patih Mandastana, Ratu dan Raja pun melakukan hal demikian, meski dalam hati mereka tahu, kalau Putri juga sudah mengetahui perkara apa yang terjadi sebenarnya.

“Beliau diantar menggunakan tandu dari Candi Laras dan digotong oleh pengawalnya ke dalam istana. Kaki dan tangannya bengkak. Kata tabib, bagian dalam tubuh beliau sudah membusuk sebagian.”

Tiba di depan pintu kamar di balai pengobatan, Patih Mandastana membukakan pintu untuk Putri Junjung Buih. Dari sana, Putri bisa mencium bau busuk yang menyeruak di seantero ruangan. Bau yang berasal dari tubuh Mantri Jahan yang terluka.

Putri Junjung Buih menunduk, memberikan hormat pada Lambung Mangkurat, sebelum ia berbalik pada Mantri Jahan yang berbaring di kasur. Dalam beberapa detik, saat menatap sekujur tubuh Mantri Sakai tersebut, Putri bisa menyimpulkan bahwa dia tidak sakit karena penyakit, tapi praktik perdukunan. Di dalam tubuh pria tua ini ada makhluk halus yang merusak tubuhnya.

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang