Senyum semringah ditampilkan oleh wanita yang usianya terpaut puluhan tahun dengan Empu Jatmika. Walaupun Ratu Kuripan sudah berusia setengah abad, tapi tubuhnya masih terlihat segar, wajah sang ratu pun masih menampilkan aura kecantikan yang tak hilang dimakan waktu.
Di ruang penjamuan, Empu Jatmika—si kepala wilayah Amuntai—yang biasanya hanya bertemu di balai utama kerajaan, kini malah duduk berhadapan layaknya orang yang setara dengan Ratu Kuripan. Senyum simpul tak pernah luntur, terukir indah di bingkai wajah penguasa negeri. Apalagi setelah beliau mendengar jawaban dari Empu Jatmika.
Ayam berkokok, hari siang. Apa yang selama ini diinginkan oleh Ratu Kuripan, tercapai—setidaknya hampir tercapai, tinggal mengurus beberapa hal, seperti pengangkatan Empu Jatmika sebagai raja.
Sedikit berbeda dengan yang ratu ucapkan sekitar satu minggu lalu, kali ini Empu Jatmika mencoba untuk bernegosiasi, mengutarakan apa yang ada di dalam pemikirannya.
“Tanah Kuripan adalah milik Yang Mulia Raja dan Ratu. Hamba memohon ampun pada Yang Mulia Ratu, karena hamba merasa sangat tidak berhak atas berkat yang Ratu berikan pada hamba.”
Empu Jatmika diam sebentar, menarik napas untuk melanjutkan kalimatnya saat tahu kalau Ratu Kuripan tidak memotong ucapannya. “Jika Yang Mulia Ratu mengizinkan, hamba akan memimpin Tanah Amuntai, di Candi Agung. Bukan lagi sebagai Mantri Sakai, tapi seperti apa yang Ratu inginkan. Hamba akan menerima berkat yang Ratu berikan kalau Candi Agung yang menjadi pusat kerajaannya.”
Pria hitam dengan rambut keriting yang digelung di puncak kepala itu memang tidak dekat dengan Ratu Kuripan, dia lebih sering berinteraksi dengan sang Raja. Membahas tentang keadaan wilayah Amuntai dan hal apa saja yang terjadi di sana. Namun, setelah Raja Kuripan mangkat dan digantikan oleh Ratu Kuripan, sedikit demi sedikit, mereka mulai berinteraksi.
Suatu hari yang mendung, panggilan itu datang ke rumahnya. Ratu ingin bertemu dan saat dia tiba di balai utama kerajaan yang hanya dihadiri ratu, pemimpin negeri itu berkata bahwa dia ingin Empu Jatmika menjadi raja.
Tanpa menyanggah sedikitpun, Ratu Kuripan menyetujui rencana Empu Jatmika. Menjadi Raja Kuripan atau raja di Candi Agung, artinya sama saja. “Kerajaan Dipa. Namanya Kerajaan Dipa. Bagaimana menurutmu?”
Mendapat respons positif atas usul nama kerajaan yang akan Empu Jatmika pimpin, Ratu Kuripan segera melakukan persiapan pengangkatan raja. Walaupun ada sedikit masalah, seperti Empu Jatmika yang bersikukuh kalau dia hanyalah pemangku raja, Ratu Kuripan yang keras berkata bahwa sang anak angkat tetaplah seorang raja karena seluruh urusan kerajaan telah diserahkan pada Empu Jatmika, dan keputusan bahwa Kerajaan Dipa tetaplah anak dari Kerajaan Kuripan.
“Setelah pengangkatanmu sebagai raja, utuslah seseorang untuk membawa seorang ahli patung dari Cina ke Kerajaan Dipa. Minta dia membuat patung replika dirimu. Patung itu akan melambangkan kedudukanmu sebagai raja.”
Empu Jatmika tidak bisa menolak. Untuk menjadikannya seorang raja saja, Ratu Kuripan mampu, apalagi hanya mendatangkan seorang ahli patung dari benua seberang.
Pengangkatan Raja Dipa diiringi restu oleh seluruh penduduk negeri. Sebagian penduduk yang tinggal di sekitar Candi Agung mengenalnya, bahkan Raja Dipa sering membantu mereka untuk menjual dagangan. Setiap urusan penduduk yang butuh bantuan Mantri Sakai, selalu dipermudah.
Harapan akan kehidupan yang semakin sejahtera menjadi satu-satunya doa saat pengangkatan Empu Jatmika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019