Bagi mereka yang memiliki harta dan takhta, pasti menganggap diri sendiri yang paling berhak. Emas, perak, tanaman obat langka, pakaian indah, dan segala jenis seserahan dibawa demi sebuah kesembuhan ke hadapan Putri Junjung Buih. Mengira sang Putri akan terpesona dengan gelimangan harta, mereka yang datang malah menelan kekecewaan karena sebuah gelengan yang Putri Junjung Buih beri.
Jika disebut sebagai putri yang tidak prihatin terhadap penderitaan orang lain, Putri Junjung Buih tak bisa menyanggah. Dia tidak ingin repot-repot mengubah pandangan orang lain terhadap dirinya. Kebaikan akan tetap menjadi kebaikan apa pun yang terjadi.
“Ingatlah bahwa ketulusan adalah kunci dari segala upaya agar kau berhasil di dunia.” Ucapan dari Lambung Mangkurat benar-benar dibuktikan oleh Putri Junjung Buih. Jadi, jika dia menolong mereka, bukan kesembuhan yang didapat, tapi kesia-siaan.
Putri Junjung Buih undur diri dari balai pertemuan setelah lewat tengah hari. Berniat untuk beristirahat, langkah Putri terhenti saat dia menaiki anak tangga menuju kamar. Seorang wanita berpakaian mewah berdiri di depannya. Dia adalah istri dari bangsawan yang membawakan pakaian-pakaian indah di balai pertemuan. Sengaja keluar dari ruangan hanya untuk bertemu dengan Putri secara pribadi.
Ketika wanita tadi hendak berucap, Putri Junjung Buih meletakkan telunjuknya di depan bibir, meminta untuk diam dan langsung dituruti. “Bawa dia kembali ke ruang pertemuan,” ucap Putri Junjung Buih melalui telepati pada Dayang Amba.
Gurat kekecewaan jelas terpancar dari matanya, bahkan genangan air mata sudah hampir tumpah saat Dayang Amba menuntun wanita bangsawan tadi kembali ke ruang pertemuan. Sebenarnya, dia tidak sakit, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya. Dia sudah menikah selama delapan tahun, selama itu pula, dia tak pernah hamil.
Pasangan bangsawan itu datang dengan wajah merekah, menawarkan berbagai kemewahan hidup, dan meminta tolong pada Putri Junjung Buih. Namun, saat ditolak oleh Putri, mereka pulang dengan wajah muram, mengumpat dalam hati. Datang tampak muka, pulang tampak punggung.
Si suami menyesal karena merasa sia-sia datang ke Kerajaan Dipa, sedangkan sang istri marah karena hal ini mungkin menjadi akhir dari pernikahan mereka, dia akan dibuang. Lagipula, suaminya sudah memiliki anak laki-laki berusia tiga tahun, hasil pernikahan keduanya.
Putri Junjung Buih tahu kalau permasalahan pasangan itu bukan dari pihak pria atau keluarganya, tapi dari pihak wanitanya. Pernikahan mereka memang didasari rasa cinta, tapi pihak wanita lebih mencintai harta si suami. Ketidakmampuan untuk memberikan anak pada suaminya membuat wanita tadi merasa kalah. Menurutnya, anak bisa menjadi pengikat antara suami-istri dan harta benda.
Bersamaan dengan kedatangan bangsawan dan pejabat dari berbagai wilayah yang ingin berobat pada Putri Junjung Buih, ada juga yang datang untuk meminang sang Putri, berharap Putri mau menikah dengan anak, tuan, atau diri mereka sendiri.
“Kau tidak ingin menerima salah satu dari mereka?” tanya Ratu Kuripan. Saat ini, Putri Junjung Buih menginap di kediaman Ratu demi menghindari orang-orang yang datang silih berganti.
“Yang Mulia tahu kalau aku tidak akan menerima mereka.”
Ratu Kuripan meminum air yang disediakan oleh pengurus dapur setelah kedatangan Putri Junjung Buih. Walaupun dia tahu kalau Putri tidak makan dan tidak minum, tapi tetap saja pengurus dapur harus menyiapkan penjamuan untuknya.
“Kenapa?”
Terlihat Putri Junjung Buih menatap malas pada neneknya. Dia tahu kalau Ratu Kuripan sedang berbasa-basi. “Apa aku harus menerima salah satu dari mereka?”
Sebuah kekehan menjawab pertanyaan yang dilontarkan Putri. Sejak Putri kecil, Ratu Kuripan senang sekali menanyakan hal yang sudah dia ketahui. Tidak bisa melihat ekspresi sedih atau senang dari wajah Putri Junjung Buih, setidaknya dia bisa mendengar intonasi berbeda dari setiap kalimat yang menggema di dalam kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019