Pertanyaan serupa dengan kalimat berbeda juga datang dari sang ayah, Lambung Mangkurat. Saat Putri Junjung Buih sedang duduk di pendopo di bagian Selatan istana, menikmati suasana malam sendirian, seorang dayang datang.
“Tuan Putri, Baginda Raja meminta Tuan Putri untuk menemui beliau di ruang penjamuan.”
Putri Junjung Buih bangkit dari tempatnya, mengikuti langkah dayang yang sudah mengabdi pada kerajaan sejak dirinya masih kecil. Ketika mereka tiba di depan pintu ruang penjamuan, dayang tadi membukakan pintu.
Berselang beberapa saat setelah Putri duduk di hadapan sang ayah, beliau berucap sambil menuangkan air ke cangkir untuk Putri, “Apa aku harus menolak mereka semua?”
Putri Junjung Buih mengangkat wajah, menatap seorang ayah yang selama ini menomorsatukan dirinya, ayah yang memberikan apa pun keinginannya. Paham dengan arah pertanyaan dari Lambung Mangkurat, Putri memilih untuk tidak menjawab.
Putri tahu kalau dalam beberapa hari ini, banyak pinangan yang datang, lengkap dengan seserahan luar biasa, jauh lebih mewah dibandingkan dengan seserahan dari orang-orang yang ingin berobat padanya.
Lambung Mangkurat menarik kedua sudut bibir, tersenyum. Baginya, Putri Junjung Buih adalah anugerah, dia tidak akan menuntut apa pun pada sang anak, termasuk perihal calon suami. “Karena kau tidak memintanya padaku, itu berarti aku harus menolak mereka semua.”
“Belum saatnya.” Duduk dengan tegap, kedua kaki ditangkup rapat dan tangan berada di atas pangkuan, Putri menjawab pertanyaan Raja Dipa, “Aku akan meminta hal itu nanti.” Dia belum bisa menikah sekarang. Masih ada beberapa hal yang harus dia lakukan, selain mengirim ramuan obat untuk masyarakat di negeri ini.
Lambung Mangkurat menarik senyum mendengar jawaban Putri. Sebelum dia meraih cangkirnya, dia berkata, “Untuk perasaan senang yang akan aku dapatkan nanti, aku akan menolak mereka semua.”
Bagi pemimpin Kerajaan Dipa itu, apa lagi yang harus dia lakukan selain mendukung Putri Junjung Buih sebagai ungkapan rasa terima kasihnya. Dulu, keinginan pria tersebut adalah menyejahterakan negeri, kehadiran Putri membuat harapan itu terkabul.
Dulu, saat awal masa jabatannya, rakyatnya luntang-lantung. Ibarat ayam, tiada mengais, tiada makan. Makan sekali dalam sehari saja, sudah untung. Sedangkan sekarang, mereka makmur. Sekarang, Lambung Mangkurat hanya perlu duduk dan memantau.
Hampir satu jam mereka duduk di sana, membahas beberapa hal, termasuk kegiatan Putri yang membuatkan ramuan untuk penduduk dan diantar langsung oleh Dayang Amba.
“Istirahatlah. Besok kau akan pergi mengunjungi Yang Mulia Ratu, ‘kan?” Putri mengangguk tepat saat ayahnya berdiri. “Cepatlah masuk ke kamarmu.” Sekali lagi Putri Junjung Buih mengiyakan ucapan Lambung Mangkurat.
Putri Junjung Buih masih melakukan kunjungan ke Kerajaan Kuripan setiap bulan. Selain untuk mengunjungi sang nenek dan terus melatih tenaga dalam, Putri juga mempelajari ilmu untuk memanfaatkan media air. Tidak seperti ramuan obat yang sudah memiliki fungsi sebagai obat, Putri ingin membuat air biasa berguna seperti ramuan obat tadi.
Merasa malam sudah semakin tinggi, Putri Junjung Buih bangkit dari tempatnya, berjalan menuju kamar. Besok dia akan pergi ke kediaman Ratu Kuripan, tadi dia sudah meminta Dayang Amba membuat makanan untuk diberikan pada pemilik Kerajaan Kuripan tersebut. Beliau menyukai olahan masakan yang dibuat oleh Dayang Amba.
Sebenarnya Ratu Kuripan pernah meminta pada Putri Junjung Buih untuk membawa serta Dayang Amba, tapi Putri menolak dengan alasan kalau Dayang Amba mungkin tidak akan merasa nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019