Setelah mendapat jawaban setuju dari kedua keponakannya, senyum simpul terbit dari sudut bibir Lambung Mangkurat. “Setelah matahari terbenam, kita berkumpul lagi. Aku menunggu kabar baik dari kalian, Patmaraga, Sukmaraga.”
Ucapan Lambung Mangkurat menjadi akhir dari pertemuan siang itu. Kedua saudara kembar lebih dulu undur diri dari ruangan, berkata bahwa mereka akan mendiskusikan cara yang paling adil untuk keduanya. Tak lama setelah itu, Ratu Kuripan dan Permaisuri turut undur diri.
Merasa urusannya sudah selesai, Patih Mandastana berucap, “Kalau begitu, hamba pam—
“Tunggu di sini sebentar, Adikku.” Lambung Mangkurat memotong ucapan Patih Mandastana. “Aku ingin bicara.”
Patih Mandastana mengurungkan niat, menurut. Dia tetap berada di tempatnya selagi Putri Junjung Buih dan sang ayah sedang berkomunikasi. Hanya sebentar, Putri Junjung Buih keluar dari ruangan.
“Mandastana ….” Lambung Mangkurat menyebut nama adiknya dengan nada pelan, tapi masih mampu ditangkap oleh Patih Mandastana.
Tangan kanan dari Raja Dipa itu mendekat pada kakaknya. “Ada apa, Baginda?” jawabnya dengan kepala menunduk
Berdiri dari singgasananya, raut wajah Lambung Mangkurat mampu membuat Patih Mandastana sadar kalau ada yang tidak beres, apalagi saat sang Raja berucap, “Kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang. Aku ingin melihat bagaimana kedua keponakanku menyelesaikan hal ini. Aku ingin tahu, sampai mana kebijaksanaan dan ketulusan mereka.”
Pantas saja kakaknya menampilkan raut khawatir seperti itu, ini pasti berkaitan dengan pembicaraan mereka sebelumnya, mengenai Patmaraga dan Sukmaraga yang mungkin ingin merebut posisi raja dari Putri Junjung Buih.
Patih Mandastana setuju. Dia juga ingin tahu, apa yang akan anak-anaknya lakukan untuk menyelesaikan permintaan Raja—Putri Junjung Buih. Lambung Mangkurat melangkah lebih dulu, meminta Patih Mandastana untuk mengikutinya.
Sempat bingung dengan arah ke mana kedua saudara kembar itu pergi, Patih Mandastana berinisiatif untuk bertanya dengan prajurit yang sedang berjaga dan dayang-dayang istana.
Mengikuti arah yang diberitahukan oleh para pengurus istana, setelah beberapa waktu mereka menyusuri wilayah kerajaan, akhirnya Raja Lambung Mangkurat dan Patih Mandastana menemukan kedua saudara kembar itu. Secara tak sadar, mereka menarik napas, rasa ingin tahu membuat mereka mendekat beberapa langkah lagi.
Dua pria yang memiliki postur tubuh dan wajah yang mirip itu tengah berada tak jauh dari bangunan candi. Mereka berdiri saling berhadapan. Sayup-sayup, suara Patmaraga dan Sukmaraga mampu di dengar oleh sang ayah dan sang paman.
“Kau tidak mau mengalah?” ucap Patmaraga dengan suara tinggi. Berkacak pinggang, Patmaraga tertawa sombong, membuat Sukmaraga berdecih meremehkan. “Aku yang sudah mengatur strategi ini, Sukma. Jangan pernah beranggapan kalau kau lebih banyak memiliki andil dalam hal ini.”
Sukmaraga mengernyit mendengar penuturan kakaknya, senyum miring tercetak jelas di bibir. “Kau memang merencanakan semuanya. Kau yang mengatur segala hal mulai dari pelaku, racun, dan tujuan ke mana Dayang Amba memberikan ramuan milik Putri. Semua memang sudah dalam rencana, tapi ingat, aku yang bekerja.”
Kepala Patmaraga terangkat, napasnya memburu. Sejak tadi, mereka bicara, tapi Sukmaraga sama sekali tidak mau mengalah padanya. Padahal, dialah yang merencanakan pinangan ini lebih dulu.
Mendengar kalimat bernada tinggi dan mampu mereka dengar dengan jelas, raut Raja Lambung Mangkurat dan Patih Mandastana seketika berubah. Cukup dengan kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Patmaraga dan Sukmaraga, mereka sudah paham inti dari percakapan kedua saudara kembar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019