27

221 20 2
                                    

Mati kuang karena bunyi. Mungkin saat ini mereka sedang ditegur oleh penguasa alam. Segala keberkahan yang diterima oleh Kerajaan Dipa, tidak diimbangi dengan rasa syukur.

Siang berganti malam, purnama dilalui dengan perasaan hampa. Patih Mandastana memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, lalu pindah ke kaki gunung untuk hidup berdua dengan sang istri. Tidak ada yang berani menghentikan keputusan sang Patih. Kedua anaknya meninggal di hari yang sama, duka mendalam pasti dirasakan oleh Patih Mandastana.

Saat melakukan penyelidikan--tahu kalau nama Dayang Amba disebutkan sebagai pelaku, secara tidak langsung pasti akan menyeret nama baik Putri Junjung Buih--Patmaraga dan Sukmaraga ingin membuktikan bahwa ramuan itu adalah ramuan obat milik Putri, bukan racun.

Sadar kalau keyakinan mereka salah, kedua saudara kembar itu tetap melanjutkan penyelidikan, tanpa mengatakan pada siapa pun tentang mereka yang telah meneguk sisa racun.

Beruntung mereka memiliki fisik yang kuat. Setidaknya, mereka tidak mati konyol. Patmaraga dan Sukmaraga masih memiliki kebanggaan karena mati setelah melakukan tugas mereka sebagai kesatria Kerajaan Dipa.

Semua aktivitas kerajaan kembali seperti semula, kecuali posisi Empu Mandastana yang digantikan oleh Patih Ahim—bawahan Empu Mandastana dulu. Putri Junjung Buih juga masih membantu rakyatnya dengan ramuan-ramuan obat yang diantarkan oleh Dayang Amba, sesekali membantu Raja Lambung Mangkurat untuk mengambil keputusan—Ratu Kuripan meminta Lambung Mangkurat untuk lebih sering membicarakan tentang urusan kerajaan dengan putrinya.

Putri Junjung Buih sedang mengaduk ramuan obat yang baru diangkat dari tungku. Peralatan yang tadi dia gunakan untuk membuat ramuan, sudah dibersihkan oleh Dayang Amba. Asap dari sisa kayu bakar masih sedikit mengepul, aroma rempah-rempah mengisi seluruh ruangan.

Tuan Putri, di luar ada Patih Ahim.”

Putri Junjung Buih segera bangkit untuk mencuci tangan, kemudian menemui Patih Ahim. Pria yang lebih muda dan bertubuh lebih besar daripada pamannya itu berkata, “Tuan Putri ditunggu Baginda Raja di balai utama kerajaan.”

Putri melangkah lebih dulu untuk tiba di balai utama, sementara Patih Ahim mengikuti di belakangnya. “Seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit datang dan dia ingin bertemu dengan Tuan Putri.” Patih Ahim tidak lagi bicara setelah menjelaskan hal tersebut. Masih merasa canggung untuk berinteraksi dengan Putri Junjung Buih.

Tiba di balai utama kerajaan, Putri Junjung Buih melangkahkan kaki hingga ke depan singgasana Raja Lambung Mangkurat. Dia menundukkan kepala sejenak untuk memberi hormat.

“Putriku, beri salam untuk Pangeran Suryanata.”

Mengikuti perintah ayahnya, Putri menatap seorang pria yang tengah duduk di tandu dengan keadaan memprihatinkan. Pria itu memang rupawan, jauh lebih tampan dibandingkan Patmaraga dan Sukmaraga. Namun, kedua kaki dan tangannya buntung.

Di belakang Pangeran Suryanata, ada empat prajurit yang bertugas untuk membawa pangerannya menggunakan tandu. Di samping si pangeran, ada pria muda yang menjadi orang kepercayaannya.

Putri Junjung Buih menundukkan kepala pada Pangeran Suryanata sebagai salam. Tahu kalau sosok Putri Junjung Buih tidak bicara pada siapa pun, Pangeran Suryanata menjawab salam itu dengan sebuah senyuman.

“Kedatangan Pangeran Suryanata, jauh-jauh dari Kerajaan Majapahit ke sini adalah untuk meminangmu, Putriku. Bagaimana menurutmu?” Ucapan Lambung Mangkurat membuat Putri kembali menatapnya.

Memang, beberapa bulan setelah Patmaraga dan Sukmaraga meninggal, juga setelah Empu Mandastana keluar dari istana Kerajaan Dipa, saat kondisi pemerintahan sudah lebih stabil, Putri Junjung Buih pernah berkata pada ayahnya kalau akan ada seseorang dari Kerajaan Majapahit yang datang untuk meminangnya. Orang itulah yang akan menjadi takdir Putri Junjung Buih.

"Pria itu adalah takdirku. Seseorang yang akan menyempurnakan segala keberkahan yang aku miliki."

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang