9

289 27 0
                                    

Dengan langkah penuh kehati-hatian, sedikit demi sedikit, kaki Lambung Mangkurat terendam dalam jernihnya air sungai. Mata sang Raja hanya tertuju pada keranjang yang ada di atas air, memerhatikan setiap gerak jari dari bayi di dalamnya.

Riak kecil yang sejak awal mengelilingi keranjang bayi, yang membuat Datuk Pujung tidak bisa mengambil keranjang tersebut, perlahan membesar hingga menimbulkan gelembung-gelembung buih. Akan tetapi, Lambung Mangkurat tidak memedulikan hal tersebut, dia hanya berharap agar dia bisa menyelamatkan si bayi, takut kalau riak air membuat keranjang tadi terbalik.

Ketika jarak dirinya dan keranjang tadi hanya sejengkal, dalam hati Lambung Mangkurat bergumam, Kini kau adalah anakku. Anak yang akan menjadi pelipur lara untukku. Anak yang menjadi berkah untuk negeri ini.

Keranjang itu memang masih terombang-ambing di atas permukaan air, tapi beliau mampu membalut tubuh si bayi dengan selimut hasil buatan Ratu Kuripan dan membawanya ke dalam gendongan. Lambung Mangkurat berharap, semoga anaknya akan hidup dengan baik. Anaknya tidak akan lupa pada sebuah penderitaan hanya karena dia memberinya kemewahan.

Putrinya, harus mengingat, penderitaannya ketika terbawa arus sungai sampai pada pertemuan mereka berdua.

“Anakku … aku memberimu nama Putri Junjung Buih.”

Sosok Putri Junjung Buih di Kerajaan Dipa seketika menjadi idola seluruh penghuni istana. Mereka memang tidak bisa menyentuh apa lagi menghampiri si Putri secara terang-terangan, tapi para pekerja istana selalu memanfaatkan momen di saat Putri keluar dari kamar bersama Ratu Kuripan atau Permaisuri untuk melihat kecantikannya.

Sejak saat itu, Ratu Kuripan menjadi lebih sering menginap. Raja terdahulu, Empu Jatmika, memang menyediakan ruangan khusus untuk beliau beristirahat di istana sebelah Barat. Selama puluhan tahun, ruangan tersebut hanya digunakan sekali-kali saat Ratu Kuripan harus menginap dengan alasan yang sangat penting.

Bagi Ratu, Kerajaan Kuripan adalah rumahnya. Dia tidak bisa meninggalkan istananya begitu saja. Namun, Putri Junjung Buih menjadi satu-satunya alasan kenapa Ratu rela meninggalkan kediamannya dalam jangka waktu yang lama.

“Di mana Putri?” Pertanyaan itu ditujukan pada dayang Permaisuri yang ia panggil setelah mendapati kediamannya kosong, tanpa Permaisuri, tanpa Putri Junjung Buih. Dalam hati, Lambung Mangkurat menggerutu, dia sudah bisa menduga dari gerak-gerik si dayang kalau sekali lagi, anak dan istrinya diboyong oleh Ratu Kuripan.

Terkadang, saat Raja disibukkan dengan pekerjaannya, Putri Junjung Buih beserta Permaisuri diajak menginap ke istananya selama beberapa hari. Baru setelah Lambung Mangkurat sadar kalau kedua kekasih hatinya tidak ada di istana, dia akan datang dan merebut mereka kembali dari Ratu Kuripan.

Bukan tanpa alasan Ratu Kuripan bersedia merawat Putri Junjung Buih. Selain karena dia adalah nenek dari sang Putri dan permintaan Raja Dipa, ada satu hal spesial dari diri Putri Junjung Buih yang hanya bisa dilatih oleh Ratu Kuripan.

Putri Junjung Buih menjadi berkah terbesar yang pernah dimiliki oleh Kerajaan Dipa. Tak bisa dipungkiri, sejak kehadiran Putri di Tanah Amuntai, secara perlahan, satu per satu masalah kerajaan dapat diselesaikan. Permasalahan di bandar perdagangan, wilayah pertanian, hingga bagian perikanan dapat diatasi.

Tidak akan ada kalimat berakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu, tetap mati kemudian, untuk kehidupan Kerajaan Dipa. Tahun berganti, kehidupan di wilayah Kerajaan Dipa semakin makmur. Para pedagang sudah berani untuk menjual barang dagangan mereka ke luar wilayah, menambah kesejahteraan masyarakat.

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang