19

221 24 0
                                    

“Jika dalam kurun waktu satu bulan, kami bisa menemukan pelaku dari tragedi pembunuhan ini, maka kami ingin meminta hadiah dari Baginda Raja,” ucap Patmaraga.

Di balai utama kerajaan, Patmaraga dan Sukmaraga berlutut di depan Raja Lambung Mangkurat dan Permaisuri. Di sisi kanan mereka, berdiri sang ayah, Patih Mandastana, berikut hakim dan ketua pasukan yang menyelidiki kasus ini.

Beberapa saat lalu, setelah ketua pasukan penyidik mengatakan bahwa mereka tidak bisa memastikan apakah wanita itu benar Dayang Amba atau bukan—karena terdapat ketidakcocokan informasi yang mereka dapatkan dari saksi di TKP—kedua anak dari Patih Mandastana itu segera berlutut dan menyampaikan niatan mereka.

“Jikalau kami gagal dalam mengungkap kejadian mengerikan ini, kami rela melepas gelar kami sebagai keluarga kerajaan dan meninggalkan istana,” ucap Sukmaraga penuh keyakinan.

Esa hilang, dua terbilang. Mereka sudah memikirkannya. Tak apa mengorbankan status mereka, kalau nanti mereka akan mendapatkan hal yang jauh lebih baik daripada saat ini.

“Hadiah apa yang kalian inginkan, Patmaraga, Sukmaraga?” sahut Lambung Mangkurat. Baginya, memberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras kesatria-kesatrianya bukanlah hal yang berat. Mereka pantas mendapatkan hal itu.

“Tanpa mengurangi rasa hormat kami pada Baginda Raja, kami ingin Baginda Raja menerima salah satu pinangan kami untuk Putri Junjung Buih,” sambung Sukmaraga.

Sontak semua orang yang mendengar penuturan anak sulung Patih Mandastana itu membelalak kaget. Takjub dengan permintaan tersebut. Pernikahan antar saudara dalam kerajaan memang tidak dianggap tabu demi melindungi garis keturunan murni. Namun, sungguh lancang bagi seorang kesatria yang memanfaatkan kemalangan nasip warga untuk meminang putri Raja.

“Patmaraga! Sukmaraga!” Teriakan lantang yang berasal dari Patih Mandastana membuat kesunyian beberapa saat lalu pecah, tapi kedua anaknya tidak gentar dengan teriakan dari sang ayah.

Raja Lambung Mangkurat menarik senyum simpul untuk menutupi rasa terkejutnya. Sebelum Patih Mandastana kembali berteriak, dia lebih dulu berucap, “Aku akan menanyakan hal ini pada Putri Junjung Buih. Sebagai ayah, aku berterima kasih pada kalian, Patmaraga, Sukmaraga, karena telah menilai putriku setinggi ini. Kalian lebih dulu berjuang untuk mendapatkan hati putriku.”

Dua bersaudara itu menarik senyum, lalu semakin bersujud di depan Lambung Mangkurat, merasa kalau Raja negeri ini bisa menangkap maksud dari ucapan mereka. Tidak seperti orang lain yang datang dengan seserahan mewah, mereka menawarkan sebuah pengabdian.

Tanpa membuang waktu, tepat setelah pertemuan itu selesai, Patmaraga dan Sukmaraga pergi ke wilayah perbatasan Muara Bahan bersama dua pengawalnya. Melakukan penyelidikan ulang untuk mencari cela di mana kesalahan ketua penyidik sebelumnya hingga mereka mengalami kendala.

Sedangkan Patih Mandastana bicara secara pribadi pada Lambung Mangkurat, memohonkan ampun atas perilaku lancang kedua anaknya.

“Tidak apa-apa, Adikku. Lagipula, siapa yang akan menerima pinangan mereka, bukanlah aku, tapi Putri Junjung Buih. Dia yang akan menjalani pernikahan itu. Tidak usah seperti ini, Mandastana.” Lambung Mangkurat membantu Empu Mandastana untuk bangkit dari sujudnya.

“Aku hanya khawatir, mungkin, mereka akan meminta haknya sebagai raja, kalau salah satu dari anakku menikah dengan Putri Junjung Buih,” ucap Patih Mandastana saat dirinya berdiri, berhadapan dengan sang kakak dib alai utama kerajaan.

“Kenapa kau khawatir? Mereka anakmu, mereka kesatria kebanggaanmu. Kalau mereka memang pantas, kenapa kita harus mengkhawatirkan hal yang tidak akan pernah terjadi?”

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang