GOSSIP AT THE WHITE'S

2K 221 8
                                    

London, 1837.

"Cheers!"

Riuh percakapan dan denting gelas yang bersahutan di dalam, terdengar samar dari luar pintu masuk dan jendela. Siapa pun yang lewat di depannya pasti penasaran akan apa yang terjadi di belakang tembok bangunan megah yang terletak di pusat kota Westminster, London.

Sebuah papan nama kokoh terpajang di depan pintu. Di atasnya terdapat ukiran dari emas bertuliskan White's—klub gentleman paling bergengsi se-Inggris Raya yang hanya menerima anggota dari kalangan ton dan berjenis kelamin lelaki. Oleh karena itu, keanggotaan dalam klub eksklusif ini sangat diperhitungkan.

Sayangnya, masih banyak kalangan ton—sederajat bangsawanyang masih mengantri dan belum menjadi anggota. Keinginan mereka untuk menjadi anggota White's sangat sederhana.

Selain daripada tempat untuk melakukan kesepakatan bisnis, di sini para lelaki dapat menikmati waktu berkualitas untuk dirinya dengan leluasa, seperti mendengarkan musik, bermain bola sodok, dan bertaruh pada permainan kartu.

Kalangan Ton juga bebas bergosip sambil menikmati anggur terbaik, tanpa takut pembicaraan mereka terdengar kemana-mana. Namun, hal utama yang menjadi alasan para gentleman untuk menjadi anggota White's adalah jauh dari gangguan para lady.

Peraturannya pun sangat ketat, salah satunya adalah jika reputasi bangsawan tersebut tercoreng karena suatu masalah, maka secara otomatis namanya juga akan dicoret dari keanggotaan The White's―selamanya.

Walaupun keanggotaan White's bersifat eksklusif dan terbatas, aktivitas di dalamnya tidak pernah sepi. Sofa kulit dan arm chair yang diletakkan di sudut ruangan, serta kursi kayu yang mengelilingi meja berpenutup kain linen di bagian tengah, hampir semua terisi oleh lelaki berwajah merah akibat anggur. Lebih merah dari kayu mahoni berpelitur yang melapisi sepertiga dinding ruangan.

Hari ini suasana The White's sedikit berbeda, ramai percakapan antar lelaki berwajah merah akibat anggur berdengung bagai suara lebah. Ucapan selamat bertaburan mengelilingi Thomas―Viscount of Stafford―di tengah kabut tembakau yang pekat.

Mereka menyambut kepulangannya dari dari masa bulan madu dengan Lady Nicolette yang sekarang resmi menyandang gelar Viscountess of Stafford. Gelas-gelas kosong tak henti terisi dengan anggur pilihan yang tagihannya ditanggung oleh Thomas.

Setelah dirasa semua gentlemen dalam The White's selesai mengucapkan selamat dan berjabat tangan, Thomas segera beranjak dari kursi di meja bartender dan mengedarkan pandangan ke seisi ruangan untuk mencari tiga sahabat karibnya.

Pandangannya tidak menemukan kesulitan menemukan sosok Nicholas, Robin, dan George, yang sedang asik berbincang di pojok ruangan sambil menyesap red wine. Dengan langkah panjang, dia mendekat dan menghempaskan bokongnya tanpa permisi pada salah satu sofa kosong yang diyakini memang diperuntukkan untuknya.

"Ada apa? Kenapa kalian memandangku seperti itu?" tanya Thomas ketika tiga sahabatnya menoleh dan menyeringai hampir bersamaan.

"Kau terlihat bahagia, padahal dulu kau yang paling anti terhadap pernikahan," ujar Robin―Duke of Windsor―membuka pembicaraan.

"Yah, aku salah. Aku minta maaf," balas Thomas sambil menyeringai malu-malu.

Masih segar dalam ingatan mereka, setahun lalu di tempat yang sama, Thomas dengan keras mendeklarasikan penolakan terhadap ikatan pernikahan di depan para sahabat. Sekarang, di sinilah dia, duduk di tempat yang sama dengan status menikah, sementara sahabatnya yang lain masih berstatus single.

"Karena sekarang situasinya berbeda, kusarankan kalian segera mencari istri dan meninggalkan wanita mana pun yang sedang kalian kencani. Atau, kalian akan menyesal jika menunggu lebih lama lagi." Gelak tawa terburai merespon nasehat Thomas pada sahabatnya, membuat lelaki itu melayangkan protes dengan wajah semakin merah. "Hey, jangan tertawa. Aku serius dengan perkataanku."

THE HORSE WHISPERER [TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang