Ia bingung sejak kapan hatinya peduli terhadap orang lain, menganggap jika ada orang-orang yang selalu berlalu-lalang di sekitanya, ada banyak orang yang hidupnya lebih sakit di banding hidupnya, lalu kenapa ia harus meratapi nasibnya seakan dialah yang paling terluka didunia ini.
"Gaa, lo ada dendam apa ama tuh cewek," celetuk Kevin, pandangannya tetap fokus pada layar di depannya. Saga meliriknya sebentar.
"Dia nabrak gue waktu itu Vin," balasnya, sambil mengejar Kevin di dalam permainan.
"Ck! Gitu doang elah, gue kira apaan, beberapa hari ini gue nggak liat dia di kampus," Kevin menatap Saga sekilas.
"Gue denger rumor, katanya cuti," jawab Saga santai, Kevin menoleh dengan alis bertaut, "karena tumor, cuti?" pekik Kevin karena terlalu serius mengejar sahabatnya dalam game, tak memedulikan apa yang dikatakannya barusan, Saga hanya menatapnya datar, "rumor bangsat."
"Gue penasaran sama tuh cewek, banyak hal yang orang nggak tahu tentang dia, kayak misterius gitu dan kedatangannya di kampus yang juga rada aneh gitu," Saga mendengarkan saksama, tak berniat membalas pernyataan itu.
"Kenapa ya kita udah jarang nakal lagi," Saga menoleh sepenuhnya, memerhatikan sahabatnya.
"Gue masih nakal, buktinya semalam balapan dan nyokap gue masih ngomel," timpal Saga tertawa renyah, Kevin memandangnya sinis.
"Maksud gue tuh clubbing bego!" ucap Kevin sarkatis sambil menoyor kepala Saga, yang di tanggapi kekehan renyah oleh sang empunya.
"Mungkin gue mulai tobat, lagian gue tuh udah ngerasa bosan nakal mulu," Kevin menatapnya takjub sekaligus meremehkan.
"Lo kebentur apaan emang, ngomong tobat segala," sambungnya, Kevin memandang Saga takjub.
"Setiap orang itu berhak berubah, pakai alasan atau nggak, itu nggak penting, yang penting itu dia mau berubah," jelas Saga mantap, Kevin terperangah mendengar penuturan Saga barusan, sahabatnya nggak kemasukan jin kan.
"Yaya serah lo, btw pinjam kalung dong." Saga mengangguk, terserah Kevin mau meminjam apa saja.
Sementara dibelahan dunia lain.
Tristan menghela napas gusar, kalut dengan pikirannya sendiri, sesekali ia memijit pangkal hidungnya lelah.
Ia lelah dengan hidupnya yang seperti ini, ia berpikir lebih baik mengakhiri semuanya. Langkahnya terhenti, ia memerhatikan lurus-lurus segerombol orang-orang yang jongkok dengan berbagai ekspresi.
Seorang gadis pingsan.
"Dia teman saya, biar saya yang menolongnya," ucap Tristan setelah mendekat, orang-orang memandangnya sesaat lalu mengiyakan, Tristan lalu menggendongnya, sesekali memerhatikan wajah cewek itu.
Kebetulan Tristan lagi nongkrong di salah satu kafe dekat penginapannya, jadi tidak perlu repot bawa kendaraan.
Tristan membaringkan gadis itu di atas tempat tidurnya dengan hati-hati. Di pandanginya sesaat lalu keluar kamar.
Ia bingung sejak kapan hatinya peduli terhadap orang lain, menganggap jika ada orang-orang yang selalu berlalu-lalang di sekitarnya, ada banyak orang yang hidupnya lebih sakit di banding hidupnya, lalu kenapa ia harus meratapi nasibnya seakan dialah yang paling terluka di dunia ini.
Tristan mendongak, melihat gerak-gerik pintu kamar yang akan terbuka.
Benar saja, pintu telah dibuka lebar, seorang gadis dengan wajah lelah memandangnya bingung, begitupun Tristan, mereka saling menatap dalam waktu yang cukup lama.
Sebelumnya Tristan telah membawakan makanan dan meletakannya di atas nakas, ia tahu gadis itu pingsan mungkin karena lelah dan juga berusaha menahan laparnya.
"Duduk," Tristan menepuk-nepuk sofa di sebelahnya, gadis itu mengangguk.
****
"Kenapa kalian tidak tahu kemana anak itu pergi, huh!"Geo memejamkan mata sejenak, kemarahan papanya yang membuncah. Tidak akan reda sebelum menemukan kakaknya, kakaknya yang pembangkang, menganggap tidak memiliki orang tua, ia tahu kakaknya berhak marah atas kejadian itu, tapi sampai kapan.
"Blokir semua!" Teriaknya pada seseorang di seberang sana.
"APA!!!" sejenak pria itu memijit pangkal hidungnya, mendengar penjelasan wanita itu
BRAKK!
Semua barang di atas meja berserakan, hancur tak berbentuk.
"Bagaimana mungkin selicik itu, beraninya membawa kabur uang tunai sebanyak itu!" ucapnya sambil berdecih lalu meninggalkan dua orang itu yang masih setia di tempat dengan rasa kepanikan.
Tristan dan gadis itu tiba di salah satu villa milik teman Tristan, mereka memutuskan untuk pergi bersama, awalnya gadis itu merasa takut apalagi notabenenya ia hanyalah orang asing.
"Mungkin gue cuma sampai di sini aja, semoga lo berhasil balik," gadis itu mengangguk meyakinkan.
Tristan manggut-manggut mendengar penuturan cewek dihadapannya, ia menimbang sejenak keputusan gadis itu, dan memilih mengiyakan.
Ia melangkah menjauh sambil merogoh benda pipih di saku celananya.
"Halo, gue udah di villanya Vero, lo datang kesini tapi ingat, jangan sampai ada yang tahu terutama bokap gue." Tristan memutuskan panggilan sepihak, lalu berjalan menuju kamarnya, ia lelah dan soal gadis itu Tristan tidak peduli, bukan urusannya.
"Gue tahu lo ada disini"
Deg!
Tristan melotot membaca pesan yang diterimanya, pesan tanpa nama, siapa kira-kira?
Bukankah terlalu banyak yang menjadi musuh Tristan, bisa saja salah satu di antaranya.
Publish_April 2019
==
Terimakasih telah mampir🤗
Salam hangat🧡
~Yani Kim
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu-abu (Saga Alexander) ✔
Teen FictionBaca aja dulu beberapa part, kali aja terjungkal :D Kisah yang pelik mewarnai perjalanan hidup seorang Saga. Satu demi satu semuanya terungkap. Persahabatan, permusuhan, kekeluargaan. Menjadi satu dan rumit terselesaikan. #Publish 2019 #Republish 20...