Aku terus berlari menjauh, duri di dahan dan ranting pohon melukaiku. Perih, tapi kuhiraukan. Kaki tak jauh berbeda dengan lengan yang lukanya mengoyak kulit. Tanah hutan ini berkerikil tajam. Udara lembap dingin karena kabut bagai kelambu membungkus sekitar melambatkan gerakku. Tapi, aku masih berlari.
Perih ini, dingin ini, membuatku tak menghentikan langkah meski napas sudah satu-satu. Dalam pelarian ini aku takut entah pada apa. Tidak ada monster besar bermata satu yang mengejarku. Anak panah tidak juga menargetkanku sebagai sasaran. Yang pasti, aku terus berlari hingga langkah terhenti karena tebing curam. Aku mundur selangkah. Kutengok kedalaman tebing. Batu cadas siap menantiku di dasar. Haruskan aku lompat? Risiko buruk aku perhitungkan.
Aku tak tahu tujuanku. Jika terjun, tulangku akan berpisah dari sendi-sendi. Jika tidak lompat, ketakutan ini akan mengejarku terus-menerus.
Aku memilih lompat, tapi tidak tahu rasanya sakit terbentur batu cadas, aku bangun dari tidur dengan napas tersengal menghadapi mimpi itu.
"Mimpi buruk lagi?"
Aku menoleh pada sumber suara. Umi Nurul seperti biasa, bermunajat dengan selembar sajadah berbalut mukena putih setiap aku bangun karena mimpi buruk. Aku mengangguk. Disodorkan segelas air, kuminum habis.
"Mimpi yang sama lagi?" tanya suara keibuan itu lagi.
Aku menggeleng, "Kali ini di hutan." Malam kemarin dan dua hari lalu di dalam air, aku megap-megap. Tiga hari kemarin dalam sebuah lubang.
Aku termenung saat Umi Nurul membenarkan selimut Putri. Dan berbicara pelan. "Tidurlah lagi, Umi harus ke pasar."
"Naya tidak akan bisa tidur lagi, Umi." Kutengok jam dinding. Pukul 03.15. Umi dengan jadwal rutinnya akan berbelanja sayur pada jam yang sama setiap hari.
"Aku ikut Umi ke pasar," kuturunkan kedua kaki, dingin menapak lantai.
"Jangan, jaga anakmu. Kalau Putri bangun, dia pasti mencarimu."
Umi selalu menolak saat aku dengan suka rela ingin membantunya sebagai balas jasa karena telah sudi menampungku dan Putriku.
Umi Nurul bukan siapa-siapaku. Hanya kakak ipar dari Bunda Laras, orang yang mengasuhku. Aku bersyukur mengenal Bunda Laras dan Umi Nurul yang begitu tulus membantu dan menerimaku apa adanya.
Apa adanya? Bukankah mereka juga sama sepertiku yang tak memiliki apa-apa? Wajar saja kami bisa saling menerima tanpa harus ada apa-apa sebagai latar belakang penerimaan.
Kupeluk tubuh sendiri saat Umi pergi dengan sepeda motor tuanya. Suara mesin motor Umi membuatku khawatir. Kendaraan satu-satunya milik Umi itu tidak bisa diandalkan. Suka tiba-tiba mati mesin dan mogok. Aku cemas jika Umi menghadapi kesulitan dengan motor tua itu sendirian di jalanan yang sepi dan gelap. Semoga Tuhan melindungi Umi.
Kutengok Putriku, kubelai pipinya, kuatur rambut yang menutupi wajah mungilnya. Kuperhatikan sebentar, cantik, pikirku.
Matanya yang menutup itu jika terbuka akan membawaku pada sosok lain yang dulu tanpa sadar aku cintai. Apa aku sekarang masih mencintai sosok itu? Entahlah. Tidak pernah ada harapan untuk kami bersatu. Kami berbeda. Sebuah kesalahan menuntunku dan Putriku harus menjauh. Ia tidak perlu tahu jika Putri ada.
"Bunda sayang Putri." Begitu setiap malam kubisikkan ungkapan cinta pada Putriku.
Pipinya yang tembam kata Bunda Laras mirip aku sekali saat usia tiga tahun. Sungguh sebuah perpaduan yang cantik dengan mata bening yang berbinar.
Bunda Laras. Sedang apa beliau di panti? Pasti sudah sibuk dengan urusan dapur. Menginstruksikan beberapa anak memasak untuk sarapan. Aku rindu suasana gaduh saat Bunda tidak henti-hentinya mengecek keamanan dapur dan berseru-seru ke kamar anak-anak untuk membangunkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...