🌺Sembilan🌺

6.2K 456 4
                                    

Kelabu menggelayut di langit saat angin berembus membawa butir air dingin menyentuh kulit. Sudah pukul tujuh pagi, tapi matahari sama sekali enggan menyalang seperti biasa. Aroma hujan tertiup kuat. Putriku masih meringkuk berbalut selimut. Malam tadi kami bercerita banyak. Aku mendongeng kisah-kisah nusantara. Ia mendengar dengan saksama dan penuh perhatian, merespons hal-hal mengenai kisah itu. Lalu, ada yang membuat aku tertegun kala tiba di cerita Malin Kundang.

"Malin sama Putli sama ya, Bunda, sama-sama enggak punya ayah."

Hatiku dirincis pertanyaan itu. Tak ada apapun kata terlintas bahkan sekadar untuk merespons senyum. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Putri hingga berkata demikian.

Selama empat tahun aku menanggung semuanya sendiri. Kesedihan, kepedihan, rasa sakit, dan sesak. Nama laki-laki itu tak pernah kusebut sekali pun. Dadaku ditikam belati mengucapnya. Jangan harap aku memperkenalkan Putriku pada pribadinya yang dulu sempat aku kagumi dan aku tunggu kedatangannya yang hanya sebatas angan. Kepiluan ini tak mungkin kubagi dengan siapa pun. Aku bersalah, patut menanggungnya sendiri. Aku sedang dihukum.

Percaya atau tidak, aku sempat sulit memandang wajah Putriku sendiri. Bibirnya, hidung, dan beberapa cara ia beraktivitas begitu mirip dengan laki-laki itu. Aku serasa diingatkan kalau Putri juga punya ayah—yang tidak akan pernah tahu bahwa darah dagingnya tubuh dengan paras elok dan sehat. Tidak ada maksud menyembunyikan, laki-laki itu sendiri yang memilih pergi begitu saja tanpa kata perpisahan atau sebuah maaf. Aku sudah kadung mempermalukan diri sendiri. Menjauh adalah cara terbaik untuk melupakan.

Rumah sederhana milik kakak ipar Bunda Laras, Umi Nurul menjadi naunganku. Dengan tangan lebar menerimaku yang kala itu tengah payah mengandung. Tubuh kurus kering dan perut membuncit bagai kekurangan gizi tentu saja membuat siapa saja iba. Aku tidak menjadikan musabab kehamilanku sebagai ajang cari perhatian. Waktu itu aku lemah, sekadar berjalan saja harus ditopang dan merambat dinding. Aku tidak ingin munafik, aku juga ingin didampingi saat lemah tak berdaya di tempat tidur atau ingin dikawal oleh seseorang yang kuat dan siaga memapahku kala dibutuhkan. Bukan sendirian mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dan mendapat tatapan aneh karena terhuyung tanpa pendamping.

Waktu itu dokter bilang bayiku sehat. Aku bersyukur. Dokter bertanya, mana suamiku? Sudah beberapa kali kunjungan tak pernah bertemu. Aku menunduk segera tak mampu menjawab, tampaknya dokter paham maknanya, tidak lagi dokter laki-laki paruh baya itu menanyakan hal yang bukan urusannya pada kunjunganku berikutnya.

Seperti sebuah kebiasaan ketika hamil, aku tak pernah tidur di awal malam. Selalu mendadak gelisah. Posisi apapun serbasalah. Aku suka kesal sendiri. Mata sudah menginginkan tidur, tapi pikiran dan bayi di kandungan aktif bergerak. Aku bicara sambil mengelus perut yang membuncit. Kukatakan: tidur ya, Nak, Bunda capek. Besok kita main lagi. Bunda janji, besok kita makan enak. Kuelus terus hingga gerakan menghilang.

Bersyukur aku punya bayi yang pengertian. Namun, itu tak melulu berhasil. Aku pernah begadang semalaman sebab kurasakan bayiku bergerak-gerak terus ditambah seluruh sendi dan urat-urat rasanya menegang dan nyeri. Pikiranku saat itu tertuju pada sebuah nama. Ke mana dia? Andai dia di sini menemaniku melewati masa-masa sulit sekadar mengelus punggung atau mengucapkan kata-kata menenangkan. Kemudian aku sadar, tak boleh aku mengharapkan dia lagi. Ternyata aku tidak benar-benar siap berjuang sendiri. Aku hanya pura-pura tabah.

Kuseka air mata yang luruh tak kusadari, kuraup oksigen agar dada lega segera. Putri menggeliat. Matanya terbuka mencariku.

"Selamat pagi sayangnya Bunda," kucium seluruh wajahnya, ia kegelian meronta. "Putri mandi, kita langsung berangkat ke rumah Bu Laksmi, oke?"

"Umi Nulul diajak?" tanyanya mengucek mata.

"Umi Nurul harus ke pengajian, Nak. Atau..., Putri mau ikut Umi Nurul aja? Ketemu Bu Ustadzah di sana, mau? "

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang