🍂Dua Puluh Tujuh🍂

8.6K 496 19
                                    

Hampir petang aku dan Putri tiba di kediaman Satria. Warna pagarnya masih sama, penjaga keamanannya pun masih Pak Makmur. Ia lebih ramah kali ini. Membukakan pintu menjadi tugas baru untuknya kala menyambut kami.

Sesuai undangan Rudi, aku memberi kejutan untuk Satria dengan mendatangkan Putri. Katanya, Satria rindu berat dengan anaknya. Mungkin akal-akalanku saja turut mendampingi anakku ke rumah ayahnya, padahal biasanya aku tidak pernah ingin ikut bergabung.

Satria senang melihat kami. Seperti sebuah kebiasaan, Putri antusias merayap ke pangkuan dan memeluk Satria. Lelaki itu menyalurkan rindu mengecup wajah kecil di hadapannya yang tertawa-tawa geli terkena gesekan cambang.

"Kata Nenek, anak Ayah kemarin nangis. Kenapa?" Sambil membawa Putri ke kamarnya, Satria bertanya.

"Minki gigit Putli, Ayah," curhat Putri pada ayahnya. "Minki gigit sakit. Putli nanis."

Aduan itu bikin simpati. Dicermati oleh Satria bekas parut di tangan kanan, ditiup, kemudian dikecup.

"Sudah! Luka anak Ayah besok akan sembuh." Satria mengelus tangan kecil itu. Mereka menghilang ke kamar.

Aku tidak diliriknya sama sekali. Apa ia masih marah perihal kedatangan Mas Damar? Aku didera ragu lagi akan perasaan Satria. Huuft! Apa aku kembali ke panti dan membiarkan Satria mengantar Putri pulang?

"Aku pamit, ya, Rud," izinku pada Rudi yang mengolah sesuatu di dapur.

"ENGGAK BOLEH!" Rudi balik badan. Tangan kanannya teracung, memegang pisau bermata tajam.

Aku mundur selangkah. "Kenapa?" tanyaku hampir kaget ia memekik tinggi.

"Hm, makan malam hampir selesai. Kita makan sama-sama."

Sambil menunggu Rudi memasak, aku menemaninya berbincang-bincang hal kecil. Aku dilarang membantu. Katanya, hanya boleh duduk manis dan menunggu makan malam selesai dibuat. Tidak tahan juga aku diam terus, terpaksa kuambil piring-piring dan menyusunnya di meja makan. Empat piring tertata rapi. Anggota makan malam bertambah tanpa kuduga. Bu Nita dan Pak Raka datang. Tidak biasanya mereka berkumpul. Bisa kurasakan Satria cenderung enggan menjamu keluarga intinya.

Hal yang pertama kutangkap adalah reaksi mereka melihat Putri lengket dengan Satria. Lagi-lagi tatapan itu yang muncul. Ganjil, aneh, dan penuh selidik terdeteksi dari orang-orang yang belum tahu ada ikatan khusus antara Putri dan Satria.

Rasa penasaran harus tertahan, Satria belum menjelaskan apa-apa hingga makan malam usai dan tidak ada percakapan apapun untuk mempererat dan menghangatkan keluarga itu. Satu-satunya yang terus berceloteh adalah Putri. Meski malu-malu bertemu orang baru, gadis kucir dua itu dan cicitannya selalu meminta perhatian Satria. Ingin itu, ingin ini, semuanya harus oleh ayah. Seolah ayah adalah kata favoritnya.

Aku pun tak luput dari pengamatan Bu Nita dan Pak Raka. Terus menunduk adalah tameng menghindari sorot penuh tanya itu. Aku yakin, Satria telah memberi informasi bahwa aku kemungkinan anak dari Natangera. Namun, tidak ada sebentuk kalimat pun keluar dari bibir mereka.

Kecanggungan pecah. Aku tidak yakin Kana diundang pada makan malam ini, tapi ia muncul tepat saat kami selesai. Putri turun dari kursi, ia memelukku, takut pada Kana yang sudah berapi-api.

"Kamu sulit dihubungi akhir-akhir ini, Satria. Kamu mengabaikanku!"

"Pulanglah, Kana! Aku tidak mengundangmu."

"Aku calon istrimu!"

"Kalau kamu ingin di sini, baiklah. Akan aku beritahu sesuatu. Ini ada kaitannya dengan hubungan kita. Akan aku sampaikan sejelas-jelasnya." Satria beralih ke orang tuanya, memandang mereka seolah sudah siap mengungkap fakta yang bisa bikin tersentak. "Mungkin Mama dan Papa bingung kenapa diundang ke sini,"

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang