🌼Lima Belas🌼

5.6K 408 11
                                    

Tak terhitung berapa kali aku benci malam sepi. Hening ini mengejek dengan suara samar-samar. Peristiwa siang tadi membuatku ingin pingsan saja. Tubuh sudah lemas berhadapan dengan orang yang paling aku hindari. Aku ingin pergi dari sana alih-alih mematung melihat lelaki itu.

"Panggil saya Satria." Lelaki itu memperkenalkan diri. "Kenapa tangan kamu gemetar?" tanyanya bingung. Sorot itu tak lepas menyelidik.

Aku diam, menormalkan semua nadi yang berdenyut-denyut. Keringat bercucuran dari telapak tangan dan leher. Kulap sekenanya.

"Siapa nama kamu?" Memicing ia menelusuri wajahku yang menunduk. Bakatnya melagak tidak pernah hilang. Aku serasa diintimidasi. Jika orang belum kenal betul siapa ia, aku jamin, kalimatnya terkesan menggertak. Namun bagiku, pertanyaan itu bernada hanya basa-basi biasa.

Benar sekali dugaan Bunda, lelaki itu tidak mengenaliku, harusnya aku senang. Tapi, ada rasa berbeda ketika orang yang pernah menempel kulit dengan kita malah menganggap bagai orang asing yang baru bertemu.

"Na-"aku meragu mengenalkan diri sebagai Naya. "Aya. Nama saya Aya," kataku sangat pelan dan gemetar. Menyembunyikan identitas yang sebenarnya.

Aku tidak tahu apa nama itu mengingatkannya pada satu sosok atau tidak, tapi saat aku mulai membuka suara, ia tampak tertegun sesaat. Tapi sungguh, cepat sekali lelaki itu mengendalikan diri. Disuruhnya aku mengekori ke sebuah ruangan. Kutaksir ruangan kerja. Sebuah meja berpasangan dengan kursi ada di tengah. Sisi-sisinya penuh dokumen dan buku.

Ia menjelaskan singkat tugas dan hak yang akan aku terima. Masa kontrakku cukup singkat, hanya enam bulan sebelum lelaki itu pindah ke tempat yang tidak disebutkan. Aku tidak penasaran ke mana ia akan pergi. Lebih baik tidak tahu apa-apa, daripada tahu banyak dan terluka.

Kupandangi lama secarik kertas berisi poin-poin kesepakatan kerja berikut sanksi jika aku melanggar. Ini bentuk keterikatan dengannya. Ia merasa perlu membuat perjanjian agar aku tidak bisa semena-mena pergi begitu saja mengabaikan kewajiban seperti pendampingnya yang sudah-sudah. Begitu katanya, kala aku tak kunjung menandatangani kolom kanan bawah kertas bermeterai itu.

Aku ada di ujung tanduk, tidak munafik butuh pekerjaan, tapi tidak menyangka akan mendapat rupiah berasal dari orang yang ingin sekali kubenci. Benakku seketika membayang berjalan seharian dari toko ke toko mencari pekerjaan. Lelah terasa jelas. Kini, di hadapanku pekerjaan tersedia. Tanpa susah payah, tanpa lelah.
Haruskan kutolak?

Tandatangani surat itu! Ia tidak mengenalimu, Naya! Pikiranku bicara, mengompori.

Tapi dia yang membuatmu menderita. Empat tahun, Naya, empat tahun dia tidak sadar sudah merusakmu. Menelantarkan Putri! Membuatmu menderita. Tidakkah kamu ingat rasanya? Hatiku menyergah kepalaku yang rasional.

Aku bimbang, meremas pulpen di genggaman. Putri, pekerjaan, uang, rasa sakit, hidup baru, bahagia, semuanya bagai komidi putar yang terus bergantian hadir di pikiran. Kutarik napas dalam hingga dasar paru-paru, menutup mata, menandatangani surat itu tanpa melihat. Ini hanya enam bulan. Aku akan bertahan selama itu dan kemudian tidak akan pernah menemuinya lagi. Aku berjanji.

Malam harinya, penyesalan mendera. Kenapa aku menerima pekerjaan itu? Mengapa aku begitu impulsif? Bagaimana kalau ia tahu siapa aku sebenarnya? Siapa Putri dan kemudian mengambilnya dariku? Kupeluk Putri erat. Aku takut belitan tangan mungil ini tidak ada saat aku terbangun esok hari. Aku dan Putri akan bahagia selamanya. Hanya kami berdua. Tidak ada orang lain yang boleh hadir di antara kami. Keegoisan diperlukan untuk mencapai bahagia, bukan?

Kucium kening berkeringat itu, tanganku mengusir titik-titik air. "Jangan tinggalin Bunda. Bunda enggak bisa tanpa Putri." Wajah itu tenang terbuai mimpi.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang