🍀Dua Puluh Lima🍀

6.4K 432 21
                                    

Nama Kana mendadak muncul menjadi salah satu kandidat sepupu Satria yang hilang.

Kana dan aku usia kami sama sehingga menimbulkan asumsi kalau salah satu di antara kami anak Natanegara.

Fakta baru didapat Satria kala mengonfirmasi langsung pada Bunda Laras perihal kemiripan antara sketsa itu dan kami.

Penuturan Bunda bikin Satria meredup. Wajah yang mulai menunjukkan sisi kebapakan itu kelabu, sebab Bunda Laras menjadi yakin kalau aku adalah Clarissa. Bunda Laras masih menyimpan baik keranjang merah, secarik kertas, dan sebuah gelang bermanik mutiara bersamaku yang ditemukan 25 tahun lalu. Semua benda itu adalah bukti tak terbantahkan kalau aku bayi yang hilang selama ini.

"Tapi kenapa malah nama Kanaya Putri Teja yang ditulis pada kertas itu? Sedang kamu mengetahui nama bayi itu Clarissa," ujar Bunda mencoba mengurai benang kusut.

"Teja adalah nama sopir yang membawa lari Clarissa. Nama itu hanya untuk penyamaran agar Clarissa tidak ditemukan."

Satria masih kekeh dan berusaha menekan Bunda agar ingat-ingat bagaimana Kana bayi sampai di panti. Satria menginginkan bukan aku Clarissa yang hilang.

Asumsi Satria dipatahkan. Kana bayi umur satu tahun diantar orang tua kandungnya yang renta ke panti asuhan. Waktu itu, Bunda Laras menerima mereka karena sudah sangat putus asa tidak mungkin bisa mengasuh dan memberi yang terbaik untuk hidup putri mereka. Orang tua Kana sering berkunjung, sekadar mengirim susu atau perlengkapan yang lain. Namun, kemudian Bunda mendengar orang tua Kana mengalami musibah tabrak lari dan meninggal di tempat saat bekerja mencari barang bekas. Kana jadi yatim piatu. Sepertiku? Aku tidak yakin mengenai asal-usulku.

"Aku sudah sangat beruntung memiliki Putri. Aku tidak penasaran bagaimana sosok orang tuaku. Aku tidak peduli," ucapku jujur sambil membelai sebuah kepala yang tidur di pangkuan.

Aku benar-benar memohon pada Satria untuk menghentikan penyelidikan itu. Aku tidak ingin terbuai harapan tinggi berasal dari sebuah keluarga berada lagi terpandang. Aku belum tentu bagian dari mereka. Daripada kecewa sebab orang tuaku tidak jadi ditemukan, lebih baik tidak tahu apa-apa. Biarlah rahasia asal-usul hidupku hanya Tuhan yang tahu.

Satria tampak kecewa sedikit. Aku tahu ia sudah lama ingin memecahkan misteri Clarissa, aku menghancurkan semua yang sudah akan berakhir.

"Maaf," sesalku padanya yang terlihat tidak menyangka aku bulat berkeputusan.

Ia mengangguk, "Tidak harus meminta maaf, Naya. Kalau kamu memang benar sepupuku, aku malah yang harus meminta maaf." Mencoba tersenyum tipis, Satria melanjutkan, "Jadi..., kamu memintaku untuk melupakan masalah ini?"

"Semua terserah kamu. Bagaimana pun, itu amanat om-mu sendiri."

"Ia sudah tiada. Lagi pula..., tidak ada yang bisa diharapkan dari saksi yang sudah pikun dan lupa segalanya."

Kami menghela napas bersamaan. Meresapi kesunyian di kamar yang dingin ber-AC. Lelaki paruh baya di sebelah Putri sudah pulang pagi tadi, menyisakan Putri yang menurut dokter bisa pulang besok saat kondisinya sudah cukup pulih.

"Kalau kamu ternyata sepupuku, kita tidak bisa ..." Satria gugup, menggerakkan matanya aneh. "Ah, lupakan."

Aku turun dari ranjang perawatan setelah membaringkan Putri. Turun ke kantin membeli minuman. Aku pikir Satria kepanasan. Ia banyak berkeringat, kusodorkan saja minuman kopi dingin.

"Kamu sudah dua hari di sini, pulanglah! Aku yang akan menjaga Putri," saranku untuknya yang hanya direspons gelengan kepala.

"Kamu sudah lelah menjaga anakku empat tahun sejak di kandungan, aku baru dua hari. Tidak adil rasanya kalau aku pulang dan membiarkan kamu menunggui Putri." Satria meneguk minuman hingga habis. "Tadinya setelah kasus Clarissa, aku akan pindah tempat tinggal di luar kota yang semua persiapan sudah hampir seratus persen, tapi sudah kuputuskan untuk tinggal di sini. Menjaga kalian."

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang