💐Sembilan Belas💐

5.5K 440 18
                                    

"Kenapa kaki kamu?"

Aku ikut memperhatikan kakiku sama seperti halnya Satria. Tidak ada yang aneh selain jalanku yang tidak sempurna akibat jatuh terduduk kemarin. Rasanya masih nyeri, apalagi saat Putri ada di gendongan.

"Cuma keseleo," jawabku singkat pada pertanyaan niat tak niat Satria.

Mendapat jawaban itu, Satria tidak bicara lagi. Bukan sifatnya menghawatirkan seseorang. Jangankan menyuruh mengoleskan pereda nyeri atau istirahat, basa-basi pun tidak. Ia malah memerintah memindahkan meja kecil tapi tebal di sudut kamarnya ke sisi kiri ranjang. Meja pernis cokelat muda itu kelihatan ringan, tapi saat diangkat, cukup berat. Sepenuh tekat aku membungkuk mengeluarkan tenaga seperti orang mengejan. Beban kaki yang sakit bertambah. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Satria. Sudah setengah jalan, ia masih memperhatikanku dengan muka gemas bagai mengamati siput berjalan.

Aku mengatur napas. Panas di punggung memproduksi cucuran keringat mengalir dari atas ke bawah.

Sekali lagi, tugas mudah ini akan selesai.

"Mbak Aya!" Rudi menyenggolku ke pinggir, entah dari mana ia dan muncul tiba-tiba dari luar. "Kenapa angkat berat-berat? Kaki masih sakit, 'kan?" Begitu saja Rudi mengambil alih tugasku dengan mudah memindahkan meja ke sisi yang diinginkan Satria.

Satria mendengkus. "Kenapa kamu tiba-tiba—"

Tidak dibiarkan Satria menyelesaikan marahnya—Rudi mengomel lebih dulu. "Mas Satria! Kenapa suruh-suruh Mbak Aya angkat meja? Saya kan ada! Suruh saya aja. Mbak Aya lagi sakit."

Satria terdiam. Dipapahnya aku oleh Rudi. Satria tidak mampu berkata-kata, hanya memperhatikan kami yang menuju halaman belakang.

"Mbak enggak apa-apa, kan? Maaf sikap Mas Satria suka seenaknya." Rudi membuka kemasan sebuah krim putih pereda nyeri. Dioles ke daerah sekitar mata kakiku. Di situ sumber nyeri. Aku meringis, menarik kaki dan melakukan sendiri pijatan yang bisa kuatur tekanannya.

"Enggak apa, Rud. Aku maklum." Hangat dari krim mulai bekerja. Lumayan meringankan. "Aku kaget tiba-tiba kamu membentak Satria. Aku pikir, dia akan balas berteriak. Tapi dia malah ciut kamu marahi." Ada kepuasan sedikit melihat wajah Satria melongo. Tak kusadari aku tertawa, disusul Rudi menambah keras volume tawa kami.

"Ini pertama kalinya saya begitu. Rasanya kesal juga Mbak Aya diperlakukan semena-mena."

"Bagaimana kalau dia benar marah sama kamu?"

"Gampang! Saya akan pergi dan Mas Satria pasti kelimpungan mengurus ini-itu. Tidak ada yang betah berlama-lama dengan dia..."

"Karena tidak ada orang seberani kamu membentak bos sendiri," kataku menderai tawa. Puas sekali aku hari ini. Senang juga ada yang membelaku.

Rudi mengangguk, kemudian ia agak mendekat. "Mas Satria sedang mengintip kita. Terus tertawa, Mbak. Biar dia lihat."

Aku hendak mencari-cari. Rudi melarangku memastikan dari sudut mana Satria mengintip. Katanya dari arah kamarnya, tepat di belakang kami. Aku mengangguk. Mengobrol wajar, sesekali memamerkan tawa. Aku hampir yakin, saat ini Satria mendongkol. Tipikal Satria sekali perintah tidak boleh dibantah dan tukang ngambek.

"Bagaimana kalau sesekali Putri kita ajak ke sini?"

Saran Rudi membuatku ingin mematahkan lehernya. "Enggak! Enggak akan pernah!" tolakku tegas, turun dari gazebo dan lekas masuk ke rumah.

Di ruang makan, Satria duduk makan siang sendiri. Deting sendok beradu dengan piring terdengar. Suaranya agak lain. Terkesan seperti orang marah dan buru-buru. Kuanggap bunyi itu sebagai seruan untuk cepat melayaninya. Kutuang air dalam gelas, kuangsur ke sebelah kanannya.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang