Begitu saja kata-kata Satria meninggalkan karat. Kata-kataku untuk membuka pintu hatinya menghunus juga padaku.
Aku sampah, begitu katanya.
Dulu, teman-teman memang menjauhiku di sekolah. Apa itu alasan mereka jijik padaku? Apa anak yang dibuang juga bermakna sampah sebab tidak diinginkan dan dianggap tidak berguna?
Itukah mengapa istilah anak pungut digunakan pada kami yang diasuh oleh orang tua baru?
Kejam! Kami dibuang lalu dipungut!
Kulihat bayangan diriku di cermin. Kedua sudut bibirku turun, dinginnya air tak juga meredakan kekalutan ini. Dua minggu sudah Satria menyembur kalimat defensifnya untukku, tapi efek ini tidak hilang juga dari hati dan wajah. Aku tidak ingin ingat kata-kata kejam lelaki itu, tapi aku terus saja teringat.
"Satria tidak bermaksud seperti itu. Kamu tahu, kan dia sakit?" Bunda Laras merangkul bahuku, berusaha menular kekuatan. "Orang sakit memang suka bicara melantur. Jangan diambil hati. Kamu berharga untuk Bunda, untuk adik-adikmu di sini."
Hanya aku, hanya aku yang tersisa di panti ini. Teman satu panti yang dulu bersamaku telah mendapat keluarga baru. Aku yang terbuang ini semakin terbuang. Tersisih dari yang tersisih, sisa-sisa dari yang sisa.
Bunda Laras memang menganggapku anak kandungnya, tapi ini beda. Aku ingin dipilih, dijadikan kandidat untuk dibahagiakan. Bukan menunggu kemudian tidak ditunjuk.
"Bunda telepon Kana untuk ke sini, ya. Temani kamu."
"Enggak usah, Bunda. Kana pasti sibuk dan enggak mau diganggu." Kataku berusaha kuat.
Kana dan aku adalah dua anak terakhir yang dulu berlomba mendapat orang tua angkat. Kini, ia telah mendapat orang tua yang begitu menyayanginya. Segala fasilitas diberikan untuk Kana.
Kana jarang berkunjung, terakhir tiga bulan lalu. Beberapa tahun berlalu, sekarang setelannya modis. Lebih cantik dengan barang yang melekat di tubuhnya merupakan merek terkenal.
Aku senang ia bernasib mujur, meski ia meninggalkanku sendirian. Aku senang melihat ia bepergian dengan orang tua angkatnya ke tempat-tempat indah. Dulu ia banyak bercerita selalu dibelikan boneka-boneka lucu berbulu lembut. Aku ingin satu. Namun, Kana bilang orang tuanya akan marah jika ia memberi salah satu miliknya untuk orang lain. Karena tidak ingin Kana mendapat masalah, aku menahan keinginan. Berharap dalam hati bisa memiliki salah satu suatu saat nanti.
Kusibukkan hari-hariku dengan kegiatan di panti. Selain tinggal dan membantu panti, aku juga bekerja mengelola minimart sederhana yang dibangun Bunda Laras untuk pemasukan tambahan panti. 'Warung Bunda', begitu minimart itu kami namai. Tidak besar, tapi cukup lengkap dengan harga lumayan miring.
Mengelola panti tidak gampang, sering kulihat Bunda Laras bermain dengan angka-angka demi menekan biaya yang tidak perlu. Donatur datang dan pergi, hari ini mereka ingat kami, besok tidak. Hari ini kami mendapat bingkisan makanan enak, besok belum tentu.
Hanya beberapa donatur tetap yang menyalurkan uang untuk keberlangsungan panti, salah satu di antara sedikit donatur adalah ayah dari seorang lelaki keras hati, buta, dan lumpuh. Pak Raka, ayah Satria.
Kata Bunda, Pak Raka salah satu donatur yang sangat berjasa membuat panti ini berjalan dengan tidak kekurangan apapun. Tetapi, terlalu banyak dan berlebih Pak Raka membantu. Kadang, saat kedatangan Pak Raka, Bunda Laras enggan menemuinya. Diutuslah Mbok Darmi. Entah apa alasannya, aku tak tahu Bunda agak menjauhi Pak Raka.
Aku jadi paham melalui siapa Satria terkoneksi dengan panti ini. Pasti ayahnya itu yang memberi rekomendasi agar Satria bisa pulih jiwanya di sini. Sungguh pemilihan tempat yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...