"Pak Satria, apa kabar?"
Mas Damar menjabat tangan Satria. Meski tampak enggan, Satria menyambut juga.
"Kak Dendi mana, Om Damal?" Putri bertanya.
"Enggak ikut. Kak Dendi di rumah," jawab Mas Damar membelai sayang kepala Putri.
Beberapa saat setelah Rudi pergi, mobil Satria muncul dan Putri keluar berlari menghampiri kami, di belakang tubuh kecil itu, sebuah kursi roda ikut mendekat. Wajah kukuh itu sudah menunjukkan kejanggalan. Rahang miliknya kurasakan mengeras. Aneh. Walau sering kusaksikan Satria berlaku bengis, tapi kali ini agak berbeda. Lebih mendekati sinis dan entah kenapa aku merasakan ia sedang cemburu.
Apa karena Mas Damar terlalu akrab dengan Putri? Atau, karena Satria memergoki Mas Damar memegang tanganku? Ah, salahku juga tak kunjung melepas tangan yang nyata memberi kehangatan. Satria jadi salah paham.
Tunggu! Kenapa aku harus peduli dengan reaksi Satria melihat kami bersentuhan? Bukannya lelaki yang kini tampak malas menyambut obrolan Mas Damar itu belum sama sekali menyatakan cinta padaku? Tuhan, aku terlalu banyak berharap. Jangan Engkau mekarkan lagi bunga-bunga yang tumbuh liar di hatiku.
Mereka berbincang, Putri menempel bagai magnet padaku. Dan baru kusadar sekitar bibirnya berlepotan sisa es krim.
"Ayah tadi beliin Putli es kim," adunya padaku. Aku membersihkan bibirnya. "Ayah beli tiga!" Ia mengacungkan lima jari.
Satria meralat, menekuk kelingking dan jari manis sambil mengelus pipi Putri.
Sesaat, kulirik Mas Damar. Panggilan ayah dari Putri untuk Satria, perlakuan Satria terhadap Putri dan begitu sebaliknya, bikin pria itu mengaitkan alis. Kekagetan tampak jelas. Terbengong sebentar, lalu tersenyum kaku.
"Ajak ayah makan di dalam, ya!" titahku pada Putri demi meredam Mas Damar yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Putri begitu saja naik ke pangkuan Satria, menunjuk arah dalam sebagai jalur tujuan mereka.
"Ayo, Ayah!" seru gadis kucir kuda itu semangat.
Kursi roda bergerak perlahan, dan ekor mata si penunggang utama mengarah padaku. Tatapannya beraura kejam.
Sorot orang di sebelahku lain lagi. Mengerut penuh tanda tanya, tercenung bingung.
"Panjang ceritanya," ujarku menjawab rasa penasaran Mas Damar.
Ia tersenyum kaku, meneliti ubin kusam di bawah kakinya. "Aku terlambat, ya?"
Pertanyaannya tidak untuk kujawab, Mas Damar tahu betul makna dari sikap Satria dan ekspresiku kala ia menyatakan perasaan. Sesaat ada jarak panjang saling membisu, Mas Damar menaikkan wajah. Kuambil napas banyak-banyak, mulai bercerita yang sebenar-benarnya tanpa ada yang kututupi.
Aku dekat dengan Satria jauh sebelum mengenal Mas Damar. Pertemuan buruk di awal, mengantar kejadian buruk pula. Aku dan Satria terjebak dalam lumpur isap yang nodanya masih kentara. Efeknya Putri lahir.
Sebelum itu, aku berterima kasih pada Mas Damar. Ternyata, orang yang pernah kulihat sewaktu mencari pekerjaan ialah benar-benar Satria. Aku tidak sedang bermimpi waktu itu.
Maaf kusampaikan, kubilang, belum bisa menerima pinangannya. Bukan karena aku telah memilih Satria, tapi lebih kepada hatiku belum mengait pada Mas Damar. Aku benar-benar menolaknya dan berkali-kali minta maaf.
Dengan ujung bibir yang gemetar, Mas Damar mencoba tersenyum. "Tidak perlu meminta maaf. Dari ceritamu, aku tahu siapa yang kamu pilih."
"Nak Damar, ayo ikut makan malam sama kami." Bunda Laras nongol dari pintu yang terbuka lebar.
"Tidak usah, Bu. Saya mau pamit, masih ada urusan." Mas Damar berdiri, menyalami Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Любовные романы18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...