🌷Tujuh Belas🌷

5.2K 405 10
                                    

Satu hal yang sangat ingin kulakukan saat pertama kali tiba di panti adalah mengunjungi bilik tanaman. Namun, aku belum siap ke sana demi memperhatikan deretan bunga tak terawat. Bunda bilang, hampir tak ada waktu untuk sekadar menyiram atau memangkas daun dan ranting yang mengering.

Tidak ada yang datang ke sana kecuali Satria. Kata Bunda, lelaki itu kadang meminta izin melihat anggreknya dan cepat kembali. Bunda tidak tahu apa yang dilakukan Satria di sana. Anggreknya pun sudah lama tak pernah berbunga. Kelopak ungu tak pernah muncul sejak tiga tahun lalu. Satria dan Bunda pernah memberikan segala macam pupuk untuk membuat tanaman itu kembali berbunga. Sekali lagi terhalang oleh hasil yang nihil.

Kerjaku libur setiap hari Minggu. Pagi ini, aku ingin menyambangi bilik yang sering menjadi tempatku mensyukuri hidup. Meski aku membutuhkan waktu untuk banyak menimbang, tapi keinginan juga kuat untuk menjenguk tanaman-tanaman itu. Mereka pasti rindu orang yang mengurus mereka dahulu, begitu pikirku.

Saat aku memutuskan untuk keluar dari panti, aku menaruh sebuah pot kecil tanaman berisi bunga mawar merah sebagai prasasti kepergianku. Mungkin Satria tahu pot itu milikku, atau sifatnya yang tak acuh tak pernah menyadari kalau aku telah benar-benar ingin menjauh.

Ada belenggu besi melingkar di kaki. Berat dan terasa menyakitkan langkah. Namun, rasa penasaran mendorongku mendekat. Kukuatkan tekat, ingin melihat seberapa kacau bilik itu tanpa kehadiranku.

Beberapa tanaman telah meranggas, daunnya berguguran. Kasihan sekali. Sedih rasanya melihat tanaman yang semula indah beraneka warna kini serempak mengeluarkan aroma kematian. Anehnya, mawar merah milikku tumbuh subur. Satu-satunya yang bertahan dan berbunga banyak. Kelopaknya baru saja merekah mengundang kumbang datang. Indah sekali.

Hari libur kuhabiskan dengan menata kembali tanaman-tanaman. Menyiraminya, memangkas dahan dan daun, memberi pupuk, atau menyusun kembali pot-pot mencari suasana baru.

Tak pernah tega aku membiarkan semua ini terbengkalai. Putri di bawah kakiku bermain beralaskan tikar lusuh. Anteng sekali anak ini berlaku peran bersama dua boneka yang ia bawa. Berceloteh riang sendirian. Beberapa waktu kutinggalkan ia bekerja, Putri manja luar biasa hari ini. Caca berusaha mengajaknya bermain di tempat biasa dekat tangga beranda depan, tapi Putri memilih menempel terus denganku.

Aku paham, jiwa anak-anaknya menginginkan perhatian penuh dari bundanya. Terlalu sering aku pulang malam. Tiba saat Putri sudah tidur dan tak sempat bercakap-cakap menanyakan aktivitasnya seharian. Aku lebih sering tahu dari Bunda. Bersalah menggelayut di hati. Bunda pernah mengatakan Putri anak yang ceria, mandiri, dan bersemangat. Namun, ketika berhadapan denganku, ia berubah menjadi super menyebalkan enggan jauh-jauh dariku. Putri sedang meminta kompensasi atas ketidakhadiran diriku di setiap harinya.

"Ada Satria di depan," kata Bunda menghampiriku yang telah selesai memindahkan mawar dan anggrek agar berjauhan.

Pukul 12.00, akan kucatat waktunya sebagai patokan ia berkunjung. Tak akan aku biarkan Putri di panti pada jam itu.

"Ada niat memperkenalkan diri sebagai Naya?" Bunda bertanya seolah aku telah berubah pikiran. "Atau kamu ingin memberitahu kalau Putri—"

"Bunda!" Sejujurnya aku tak pernah ingin pertanyaan itu keluar dari siapa pun.

Bunda mendesah pasrah, sudah paham akan tabiatku yang keras kepala. "Baiklah. Walau Bunda berharap kamu muncul di hadapan Satria, tapi Bunda tidak bisa memaksamu. Keluarlah dari pintu belakang. Dia biasanya hanya satu jam di sini."

Aku mengangguk paham. Putri kugendong melewati taman yang tembus ke kebun kecil jalan setapak. Sebelah kanan atap rumah kami terlihat.

"Mau ke mana, Bunda?"

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang