🌹Dua Puluh Satu🌹

5.9K 484 17
                                    

"Maaf saya terpaksa bawa Putri ke sini," ungkap Rudi berdiri di sampingku. "Kata Bu Laras, Putri bersikap aneh karena tahu Mbak Naya enggak pulang. Dia enggak mau makan, murung, dan kelihatan bingung."

Aku tak bisa mengkambinghitamkan Rudi, salahku juga terlalu bodoh dan polos.

"Bu Laras jangan disalahkan, ini sepenuhnya ide saya. Saya pikir, Putri dan Mbak Naya tidak bisa berjauhan terlalu lama."

Menyalahkan keduanya pun tidak akan mengubah apa-apa, Putri sekarang ada di rumah ini, di tempat ayah kandungnya.

Tanganku masih membelai kepala yang lelap di dekapan, kurasa tidak masalah kami tidur lagi di tempat asing selama saling menjaga. "Kamu keluarlah, Rud. Aku ingin istirahat."

"Mbak—"

"Aku tidak akan menyalahkan siapa pun. Terima kasih sudah membawa Putri untuk menemuiku. Besok aku dan Putri akan pulang pagi-pagi sekali sebelum ada yang menyadari Putri ada di sini."

Rudi tidak melarang atau mempersilakan, pemuda itu seperti memikirkan sesuatu.

Aku menghela napas. Tidak ada yang lebih buruk dari hari ini. Sakit di tempat orang lain dan Putri berada di tempat yang bukan seharusnya. Pentingkah aku bilang momen ini terlalu dini diungkap? Aku belum siap melihat keterkejutan yang membuat jantung sakit.

Putri sudah tidur tanpa drama. Napasnya teratur dan tenang. Rudi benar, Putri tidak bisa lama-lama berpisah dariku. Ada sisa-sisa sembap di matanya. Kucium kedua mata mungil yang tatapannya menenangkan.

Paginya, kurencanakan kepergian. Demam sudah turun setelah obat bekerja dengan memproduksi keringat sepanjang malam saat tidur. Tubuhku bugar sedikit. Meski Putri pulas memelukku nyaman, kami harus bergegas.

Dingin lantai membuatku meringis setelah menurunkan kedua kaki. Pelan, kubuka lemari yang berisi pakaian yang telah bersih dan wangi. Kukenakan buru-buru.

Harus kupastikan orang-orang belum bangun dan pergi tanpa jejak. Kuputar kunci, membuka pintu. Gelap. Tapi terbantu cahaya remang dari arah dapur. Kamar Satria dan Rudi masih tertutup. Pukul 05.00. Mudah-mudahan ia punya kebiasaan bangun saat matahari sudah sehasta.

Kutengok kamar Bu Nita di atas, masih rapat. Syukurlah tidak ada tanda-tanda aktivitas dimulai. Tenggorokanku kerontang. Air di gelas habis dan tak sempat mengambil semalam.

Kupencet tombol hati-hati, air keluar pelan-pelan.

"Kamu sudah bangun?"

"ASTAGA!" Hampir kujatuhkan gelas yang penuh terisi mendengar sebuah suara berat. Aku terlonjak. Rasanya darah berhenti mengalir. "M-Mas Satria?"

"Kenapa pintu kamar kamu kunci semalam?"

Sengaja kukunci, sebab takut ia berbuat seenaknya. Benar, kan, dugaanku, ia tanpa segan bebas keluar masuk hanya karena aku menumpang menginap di rumahnya.

"Kenapa kamu seperti ketakutan begitu?"

Aku menggeleng, mendadak buntu, kaki terpaku.

Kuperhatikan setiap geraknya. Menyibak gorden, membuka jendela, mematikan lampu-lampu. Inikah rutinitas pagi harinya? Kukira Satria orang yang suka bangun siang. Ternyata aku salah menduga.

"Kenapa bengong?" tanyanya memperhatikanku yang tak bergerak seinci pun. "Kalau kamu sudah merasa sehat, tolong bantu saya membuat sarapan."

Satria memberi tugas mengocok telur. Pintu kamar di mana Putri berada terus kuperhatikan. Saking tidak konsentrasinya, kerjaku berantakan.

"Hei, pelan-pelan." Seru Satria mengambil kain dan membersihkan cairan lengket yang mengenai tanganku. Aku terkejut ia memegang tanpa kesan keras. Wadah kutaruh saja di hadapannya daripada wajah ini bersemu merah mendapat perlakuan tak wajar. Ada apa ini? Ada apa dengan sikap lelaki ini? Mungkinkah dia tahu kalau—

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang