🌼Enam🌼

6.5K 409 8
                                    

Malam itu, pintu kamarku diketuk tiga kali. Mbok Darmi dengan wajah seputih tembok berdiri saat kubuka pintu perlahan.

"Asma Caca kambuh," katanya terengah meraup oksigen banyak-banyak.

Mendengar itu tanpa berpikir, aku lari ke kamar anak perempuan. Caca sudah dikerubuti yang lain. Aku membubarkan mereka semua.

Sudah jarang Caca kambuh begini, biasanya udara dingin dan aktivitas fisik yang melelahkan menjadi pemicu asmanya datang. Baru kuingat Ratna mengajak Caca bermain petak umpet dan kejar-kejaran sore tadi.

Dalam dekapan Bunda, aku mencoba membatu. Bunda bilang sebaiknya aku mencari kendaraan untuk membawa Caca ke rumah sakit. Tak kusangka Caca begitu mengkhawatirkan. Sekujur tubuhnya dingin, wajahnya seperti kehabisan darah. Bukan main paniknya.

Anak-anak yang biasanya ramai menjelang tidur, kini terbungkus sunyi. Mereka dirasuki ketakutan dan kecemasan.
Satu-satunya yang aku lakukan adalah keluar rumah untuk mencari kendaraan. kanan-kiri sepi.
Beruntungnya, ada seorang tetangga yang baru pulang menarik angkot. Angkotnya kami sewa untuk membawa Caca.

Aku dan Bunda Laras mengawal Caca ke rumah sakit. Entah berapa banyak zikir yang keluar dari mulut Bunda, Caca dalam dekapan hanya diam dan lemah.

Sampai di sana, Caca melakukan serangkaian pemeriksaan. Dokter jaga bilang Caca tidak harus rawat inap. Pelayanan cepat dan tepat dari dokter dan perawat melegakan hati Bunda dan aku. Syukurnya, aku bisa sedikit lega. Caca berangsur membaik.

Setelah kekhawatiran yang berangsur reda, tiba-tiba saja bau alkohol dan antiseptik membuat perutku bergejolak. Rasanya ingin mengeluarkan seluruh isi perut.

Kuputuskan menjauh dari ruang perawatan, memilih menyelesaikan administrasi dan menebus resep.
Antre aku di antara keluarga yang mengurus sanak mereka. Tiba giliranku. Petugas bilang total yang harus dibayar adalah satu juta rupiah. Aku ternganga. Meremas dompet yang kuingat hanya ada dua ratus ribu di dalamnya.

Aku ragu,"Sebentar ya, Mbak." Aku mundur, duduk di bangku ruang tunggu.

Aku menjangkau rasionalitas, tabunganku ada lima ratus ribu. Masih kurang tiga ratus.

Haruskah aku menelepon Kana? Ia pasti mau membantu, tapi apa teleponku akan diangkatnya? Sudah jarang sekali ia menghubungi kami. Pasti dikiranya kami memanfaatkannya hanya kalau ada masalah. Tapi, kami pernah menjadi bagian hidupnya yang terdekat. Menjalani hari-hari suka dan duka.

"Ha-halo, Kana?" Keberanian itu entah dari mana datangnya, aku menghubungi Kana setelah lama menimbang. Kucengkeram ponsel kuat-kuat. Menebalkan muka.

"Hah? APA?"
Ingar bingar melatarbelakangi suara Kana yang meninggi.

Apa Kana sedang berpesta?

"A-aku Naya. Boleh minta bantuanmu? Caca sedang di rumah sakit, uang kami kurang. Aku-"

"Pinjam uang? Yang kemarin saja belum bayar!"

Belum selesai kalimatku, Kana membahas pinjaman Bunda padanya.

Sebulan lalu, atap panti bocor. Kami bingung dan Bunda mendapat uang dari Kana. Kutahu sekarang itu sebuah utang.

"Tolong kami, Kana."

"Maaf, aku tidak bisa bantu." Kata Kana diiringi suara tegukan minuman.

"Oh, ya sudah," kataku pasrah. "Apa kamu lagi di klub?"

"Bukan urusanmu!"

"Jangan pulang malam, minum alkohol tidak baik, Kana. Jangan buat ibumu cemas..."

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang