💐Dua💐

9.6K 575 17
                                    

Begitu sulit menaklukkan Satria, aku tahu itu dengan jelas. satria hanya datang sekali dalam seminggu setiap Sabtu sore. Hanya dua jam lelaki itu duduk mendengar sesi anak-anak berceloteh panjang tentang banyak hal. Cita-cita, impian, mimpi, dan harapan sederhana mereka. Jika Satria diminta untuk berpartisipasi, lelaki itu akan menggeleng dan memanggil Rudi, yang kutahu sebagai pendampingnya.

Aku hanya melihatnya dari jarak tiga meter. Masih enggan mendekati lelaki yang walau buta, tapi matanya nyalang mengintimidasi. Ini minggu keempat Satria berkunjung, tapi belum ada perubahan apapun. Masih dingin, kaku, seperti tidak berperikemanusiaan walau banyak anak yang mencoba mengakrabkan diri kepadanya.

Jika berbicara dengan Rudi, ia seperti terbiasa dengan nada delapan oktaf. Kencang, keras, dan tentu saja masih mengintimidasi.

"Sejak kecelakaan satu tahun lalu, Mas Satria memang seperti itu. Tapi dulu dia orang yang optimis, ceria, dan bersemangat," kata Rudi saat aku bertanya, apa karakter dasar Satria memang seperti itu? Keras dan galak?

"Sejak kapan dia mulai mencoba bunuh diri?" tanyaku lagi, mencoba mengorek informasi banyak-banyak.

"Enam bulan lalu. Apapun digunakan sebagai alat percobaan untuk mengakhiri hidupnya. Sendok, garpu, bahkan kartu kredit."

Rudi juga bercerita tidak ada barang apapun di kamar Satria saat ini. Hanya sebuah kasur dan satu bantal. Tidak ada lemari atau meja yang mungkin bisa digunakan untuk mengakhiri hidupnya.

Lelaki yang malang. Bukan karena nasibnya, tapi karena hilang kewarasan. Dia pikir hidupnya akan runtuh hanya karena tidak bisa berjalan dan buta? Di saat orang tuanya memberikan segala yang terbaik untuknya termasuk dukungan dan pengobatan, kenapa malah ia berputus asa?

Lelaki bodoh! Seruku dalam hati.

Tidak cukupkah orang tua yang lengkap dan menyayangi sepenuh hati? Harusnya Satria sadar, bahwa ada orang yang jauh tidak beruntung dari dia. Lihatlah kami! Kami tidak ber-ibu dan ber-ayah. Tidak mendapat dukungan dari siapa pun, kecuali Bunda Laras atau donatur yang datang dan pergi tak tentu kembali.

Minggu-minggu berikutnya, tak juga ada perubahan berarti pada setiap kedatangan Satria. Aku berkesimpulan, bukan cara orang-orang yang salah memperlakukan Satria.

Semua hal terbaik sudah diberikan untuk lelaki  gondrong tak keruan itu. Tapi, ia sendiri yang memilih untuk menolak mendapat bantuan. Menolak untuk kembali normal. Menolak untuk setiap perhatian dan simpati yang datang padanya. Keras hatinya menjadi penyulit bagi dirinya sendiri.

Kamu tidak lebih dari seorang lelaki yang tidak berguna.

Kutuliskan sebuah kalimat. Aku menyuruh Rudi agar memastikan kalimat itu didengar oleh lelaki lumpuh dan buta itu. Aku ingin lihat reaksinya. Walau Rudi sempat menolak, aku berhasil meyakinkannya untuk membacakan keras-keras kalimat itu di depan Satria.

Entah minggu ke berapa, Satria tidak lagi berkunjung ke panti. Mungkin kalimat itu menohoknya terlalu dalam, menikam ke dasar hati sehingga ia makin berputus asa dan memilih tidak lagi berkunjung. Ada atau tanpa Satria, aktivitas Sabtu sore masih seperti biasa, anak-anak sepuluhan orang melingkar sekedar mendengar dongeng yang dibacakan Bunda Laras atau menunggu giliran berbicara.

"Aku ingin menjadi dokter. Mengobati orang sakit, merawat Bunda dan Kak Naya kalau sakit, mengobati Mingki kalau sakit, mengobati Caca kalau asmanya kambuh,..."

Ratna, gadis kecil itu menceritakan cita-citanya pada semua orang. Aku yang duduk paling belakang menyandar tembok hanya bisa mengamini impian dalam hati.

"... tapi aku takut. Walau pandai, aku ragu cita-citaku akan terwujud. Aku ini kan enggak punya uang. Bunda Laras enggak punya uang banyak, Kak Naya apalagi. Tabungan Kak Naya hanya 500 ribu, aku lihat buku tabungannya kemarin,"

Aku menegakkan punggung, sungguh bocah kecil yang selalu ingin tahu! Isi tabunganku pun tak luput dari rasa penasarannya. Awas saja!

Bunda di sebelah Ratna tersenyum jenaka.

"Maafkan Aku, Kak Naya. Jangan marah.  Aku hanya ingin memastikan cita-citaku mendapat dukungan keuangan dari Bunda dan Kakak. Aku hanya takut tidak bisa sekolah..."

Mataku tiba-tiba panas, bisa memaklumi kecemasan Ratna. Aku pun sempat hanya lulusan SMP, kedermawanan seseorang membuatku bisa belajar dan lulus paket C.

Bunda kulihat berdiri dari duduknya, memeluk Ratna. Beliau berbicara banyak kalimat menguatkan, bukan hanya untuk Ratna, tapi untuk semua. Bunda bilang, cita-cita tinggi itu milik semua orang, tidak peduli apapun statusnya. Dengan bijak Bunda juga mengatakan,

"Kejarlah mimpi kalian hingga kalian tidak sanggup untuk mengejarnya. Pacu diri kalian hingga batas yang kalian kira kalian tidak akan sanggup, dan lihat keajaiban akan membukakan jalan."

Rumit, tapi aku bisa menangkap maknanya. Bunda memacu untuk tidak lelah berjuang.

Mata Bunda ke arahku. "Naya, giliranmu."
Semua mata berkumpul padaku, aku tergagap.

"Aku... aku tidak punya apapun untuk diceritakan, Bunda." Kataku jujur.

"Ceritakan pada kami apa impian dan cita-citamu."

"Aku tidak punya cita-cita,"

"Itu artinya kamu tidak berguna!" suara keras diambang pintu mengagetkanku. Satria di kursi roda, didorong Rudi mendekat.

Aku yakin, suara mengintimidasi itu miliknya.

"Kamu mengatakan aku tidak berguna. Padahal, kamu sendiri yang tidak lebih dari gadis sok tahu dan tidak lebih berguna dari aku."

Bunda Laras menginstruksikan agar anak-anak keluar ruangan, membiarkan aku dan Satria bersilang kata.

Aku diam, membiarkan Satria bicara.

"Tahu apa kamu soal aku? Tahu apa kamu soal kelumpuhan ini? Tahu apa kamu soal kegelapan?" Satria masih berbicara di depanku, tapi wajahnya ke sebelah kanan seolah aku ada di sana.

"Kamu lebih tidak berguna dari aku. Kamu yatim piatu, kamu dibuang oleh orang tua yang tidak menginginkanmu. Kamu menunggu di panti ini hingga ada orang tua yang mau mengadopsimu. Tapi kamu tidak layak diangkat anak! Kamu sampah!"

"Cukup!" teriakku memekakkan telinga siapa pun yang mendengar. "Sudah cukup kamu berlindung dari lumpuh dan buta untuk membuat takut orang-orang dengan kalimatmu itu. Kamu mencoba terlihat kuat walau lumpuh dan buta, memblokade setiap orang yang menyalurkan simpati dan kasihan padamu. Termasuk orang tuamu, termasuk kami. Kamu merasa kuat. Coba ingat? Berapa kali kamu mencoba bunuh diri. Pertahananmu itu lemah! Kamu lemah Satria." Aku tersengal. Mengatur napas.

"Kamu jauh lebih beruntung dari kami. Aku akui, aku memang yatim piatu, kami semua tidak memiliki orang tua yang selalu mendukung dan memotivasi. Kami hanya berandai-andai jika kami memiliki orang tua, betapa kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbakti kepada mereka." Kujeda kalimat, tenggorokanku tersekat. "Kami dibuang, itu memang benar. Kami tidak diinginkan, itu juga benar. Boleh aku bertukar tempat denganmu? Akan kutanggung lumpuh dan kebutaanmu asal aku memiliki ayah dan ibu, dan kamu yang sempurna menjadi aku yang tidak tahu orang tuamu?" suaraku bergetar menahan tangis. Kususut air mata yang jatuh, Satria tidak boleh melihatku lemah.

Aku masih menahan laju air mata kala Satria meminta Rudi membawanya pergi dari ruangan ini.

Aku berdiri mematung walau lututku lemas dan hatiku nyeri. Bunda memeluk.
"Aku tidak diinginkan, Bunda. Satria benar. Tidak ada yang menginginkanku," bahuku bergetar. Bunda membisu.

___

Bersambung,

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang