Berhari-hari aku mencari, tak kunjung pekerjaan didapat. Lelah rasanya keluar-masuk toko mencari informasi lowongan pekerjaan. Toko pakaian, toko alat tulis, kedai makanan, kedai kopi, semuanya sudah kutanya. Mereka kompak sekali bilang, "maaf, tidak buka lowongan." Hatiku menciut lagi.
Semangat yang sempat membara saat berpamitan pada Putri kini padam oleh kalimat-kalimat tolakan.
Aku ingin menyerah saja, tapi ragu untuk pulang. Perjuangan ini harus kuniatkan demi putriku. Anakku segalanya. Kuseka peluh yang menetes keluar sebesar biji jagung di dahi, menengadah sesaat, langit kelabu di atas. Semoga tidak turun hujan. Berada di taman beratapkan langit begini pasti sulit mencari tempat berteduh.Hujan, datanglah lain kali, ucapku dalam hati bicara pada langit.
Air di botol dalam genggaman tinggal sepertiga. Berubah hangat akibat kujejal bersama payung dan benda lain dalam tas yang setia tersampir di bahu. Aku merasa belum cukup sore untuk pulang. Sambil memakan bekal biskuit, kujelajah mata ke seluruh bagian taman yang tampak banyak pohon meranggas. Tidak banyak yang datang ke tempat yang bahkan wahana bermain anak saja sudah berkarat di sana-sini. Segelintir yang meluangkan waktu berolahraga, beberapa tampak duduk-duduk santai di bangku sepertiku, dan satu keluarga kecil yang tertawa-tawa bahagia menarik perhatian.
Sang ayah terlihat tak kuasa menolak permintaan anaknya meminta gendong. Aku dibuat tersenyum getir. Ada yang mengentak dan menarik nadi jantung.Takut hati berubah pilu, buru-buru kualihkan pandangan ke seberang jalan besar. Mengamati toko mana yang belum kudatangi. Rasa-rasanya sudah semua. Kecuali, restoran mewah itu—yang mobil-mobil berjajar rapi. Tidak usah ke sana. Aku hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Aku terbengong lagi. Kali ini menyandar pasrah pada pinggiran kursi panjang. Kalau begini caranya, lebih baik pulang saja. Kaki sudah pegal dan rintik gerimis menyulitkan misi.
Kutinggalkan taman, di pinggir trotoar aku hendak berdiri. Lalu lalang tidak terlalu ramai, tapi aku harus tetap hati-hati.
Di antara deretan angkot di seberang, satu angkot telah kutandai untuk membawaku ke rumah menemui Putri. Saat jalanan sudah sepi, kulangkahkan kaki turun. Tangan kananku terangkat tanda kendaraan yang bergerak ke arahku untuk menurunkan kecepatan.Di tengah langkah, aku terhenti tiba-tiba. Bagai petir di siang bolong, dalam jarak sepuluhan meter, aku mengenali seseorang, ia duduk di bangku penumpang sebuah mobil cemerlang. Mobil itu mundur perlahan keluar dari restoran. Aliran darah serasa berhenti. Bagaimana pun ia mengubah penampilan, aku tetap bisa mengenali.
Raut wajah itu ternyata tidak banyak berubah. Jarak pandang yang jauh cukup bisa meyakinkan diriku kalau yang dipakainya adalah setelan berkelas. Dadaku berdenyut nyeri. Ada yang meremas-remas jantung yang memompa darah cepat.
Dia ada di sini. Untuk apa?
Pertanyaan itu belum sempat terjawab. Salak klakson menyadarkanku.
"WOI! MAU MATI? MINGGIR!" seru sebuah suara yang langsung menggerakkan kakiku mendekat dan langsung masuk angkot.
Sepanjang perjalanan, jariku saling menaut. Bangku keras ini seperti ditambah duri. Aku dibuat gelisah terus menggeser posisi duduk. Ingin sekali cepat sampai.Apa Putri ada di rumah? Dia baik-baik saja? Apa ada yang menemuinya tanpa izin dariku? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelimang di kepala.
Angin bercampur air menciprat wajah, kututup jendela. Hujan turun lumayan deras. Kupeluk tas erat-erat, memejam mata berdoa semoga apa yang kupikirkan tidak terjadi. Semoga yang kulihat bukan dia. Bukan laki-laki penoreh luka yang belum sembuh.
Lima belas menit diam di angkot bagai berjam-jam. Saat kuhentikan kendaraan dan berjalan menyusuri gang kecil, hujan telah reda sedikit. Payung kukembangkan demi melindungiku dari basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...