🌻Dua Puluh Empat🌻

6.5K 481 15
                                    

Pukul enam pagi seseorang mengetuk pintu rumah. Siapa yang bertamu sepagi ini?

Seorang laki-laki, berpakian rapi kemeja biru, senyum menghias di wajah bersih itu. Satria.

"Dari mana tahu rumahku?"

"Rudi," jelasnya. "Putri ada?"

Aku menoleh ke dalam sebentar. "Putri belum bisa ditemui!" Kututup pintu, membantingnya dengan keras.

Kupikir, reaksiku itu mampu membuat ia pergi. Nyatanya, bertahan cukup lama ia di depan pintu rumah sendirian. Terik matahari ditantangnya.

Seberapa keras pun aku ingin membuatnya menjauh, semakin kuat rasa peduliku untuknya. Ia di muka pintu, menungguku mempersilakan masuk dengan wajah penuh pengharapan.

"Masuklah!" kataku akhirnya tak tega.

Ia mengendalikan kursi rodanya masuk ke rumah yang tidak bisa dibilang rumah. Matanya menjangkau sudut-sudut dengan pandangan aneh. Ruang tamu mini ini dihiasi hanya dengan sofa kecil tiga buah.

"Kenapa tidak tinggal di panti saja?" tanyanya memulai pembicaraan. Tidak akan kusuguhi ia minum. Tidak ada yang sesuai seleranya di sini.

"Tidak ada kamar kosong di sana."

"Kamarmu ada."

Aku menggeleng. Enggan membahas lebih lanjut.

"Kamar itu menjadi saksi," kata Satria. "Kalau kamu menganggap berada di kamar itu diserbu kenangan buruk, bagiku itu kenangan manis. Baru kejadian setelahnya adalah kenangan buruk yang disebabkan oleh diriku sendiri."

Apa yang sedang Satria bayangkan sampai tersenyum-senyum sendiri begitu? Ada yang aneh dengannya. Aku memeluk tubuh, merinding. Ia sedang membayangkan yang tidak-tidak—yang pernah terjadi antara kami.
Aku berdeham menormalkan suasana yang tercipta agak canggung.

"Maaf bikin Putri takut kemarin," Satria membahas pertemuan antara dirinya dan Putri. Putri masih marah dengannya. Memaksa membawa ke pelukan. Jelas saja anakku memberontak hampir menangis, Satria terpukul ditolak begitu saja. Rasakan!

"Kamu tidak mendengar arahanku. Jangan memaksa! Perlakuanmu padaku menjadikan Putri tidak suka kamu."

"Aku telah mengambil keputusan yang salah." Satria memijat kening. "Apa kamu sendiri sudah memaafkanku?"

"Itu kita bicarakan nanti. Hubunganmu dan Putri menjadi prioritasku."

Kusingkirkan ego. Aku ingin Putri merasakan bagaimana hangatnya kasih sayang orang tua yang lengkap. Meski aku dan Satria tidak tinggal bersama atau bersatu dalam ikatan suci, Putri harus jadi anak yang bahagia.

"Apa Putri bisa aku bawa main ke rumah?"

"Jangan dulu! Apa kamu bodoh? Bertemu kamu saja dia sebal, apalagi kamu ajak menjauh dariku?"

Senang sekali rasanya memanggil lelaki berkumis tipis itu dengan sebutan bodoh. Aku bisa membalikkan keadaan. Bebas memperlakukan Satria semauku.

Kami mengenal cukup lama, tapi kecanggungan belum juga mencair. Aku maupun Satria sama-sama rikuh. Masih saling mengamati satu sama lain. Barangkali kami terpukau dengan cara Tuhan mempertemukan.

"Kamu tunggu saja Putri di panti. Aku tidak mau memaksanya bangun," titahku padanya.

"Aku menunggu di sini saja." Satria enggan beranjak.

Ruang tamu yang tidak seberapa besar mendadak sempit dan panas. Aku ke kamar menengok Putri yang masih merajut mimpi.

"Aku masih tidak percaya kita akhirnya bertemu," selain mengomel dan marah-marah, hobi baru Satria sekarang adalah memperhatikanku bagai melihat hewan langka. Aku jadi risi dan kikuk. "Aku—"

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang