🌼Tujuh🌼

6.6K 441 6
                                    

Dua puluh tiga tahun hidupku saat ini. Hampir tidak pernah aku mengenal dunia luar. Pusat perbelanjaan modern, tempat bermain hits, tempat wisata terindah, bahkan rute angkutan umum pun aku tak banyak tahu.

Katak dalam tempurung, begitu mungkin peribahasa yang cocok untukku. Seumur-umur, aku belum pernah merasakan berada di benda berbentuk lingkaran raksasa yang berputar menyentuh langit, mungkin pemandangan indah kota terlihat dari atas sana. Aku terkagum, ada semacam euforia dalam dada mengentak denyut jantung untuk bekerja keras. Terpesona pula aku pada sebuah perahu super besar yang mengombang-ambing tubuh ke depan dan belakang. Bisa kubayangkan pusing menyerbu jika menaiki wahana itu.

Perhatianku teralih sesaat pada wahana-wahana bermain yang hanya pernah kulihat di televisi. Anak-anak ribut memilih mana yang akan dimainkan lebih dulu. Bianglala, ontang-anting, halilintar, cora-cora adalah yang paling banyak disebut. Rudi sampai kewalahan menenangkan mereka yang berteriak-teriak antusias.
Ratna paling dominan di antar yang lain menyarankan agar memilih cora-cora sebagai pembuka adrenalin bermain. Tapi, banyak yang ingin naik niagaragara. Tidak ada yang mau mengalah.

Lelah mendebat, Ratna diam.

Tadinya aku hanya akan mengawasi saja, tapi terpaksa turun tangan melihat Rudi dengan mimik mulai gemas bicara pada anak-anak yang tak menggubrisnya. Pemuda ceking itu malah menepi dan memakan camilan kami.

"Mereka hari-harinya makan petasan ya, Mbak? Capek saya ngomong sama mereka." Keluh Rudi berjongkok mendorong makanan yang lumat dalam mulut dengan air.

Aku tersenyum, menarik napas dalam, "Anak-anak!" Aku meminta perhatian semuanya dengan kencang. "Kita diberi waktu bermain hanya dua jam. Waktu kalian sudah habis lima belas menit untuk berdiskusi, jadi, tentukan mau main yang mana dulu. Atau, Kakak yang akan pilih."

Semakin siang semakin banyak antrean menjadi pertimbangan. Aku pula ingin buru-buru pulang. Tidak nyaman berada di luar dengan udara membakar kulit begini.

"Karena Caca tidak bisa naik wahana ekstrem, Kakak akan ke istana boneka. Kalian mau ikut?" tawarku pada mereka yang langsung mengerut kening, amat terlihat meremehkan.

"Istana boneka cuma untuk bayi!"

"Mingki aja enggak mau ke sana," kata Ratna mengejek. "Iya, iya, Kak Naya aku minta maaf, jangan galak begitu." Gadis kecil itu tertunduk aku pelototi.

Halilintar, akhirnya menjadi wahana pilihan. Aku memerintah Rudi mengawasi. Mengatur apa-apa yang perlu diatur. Memberi pengertian bahwa tidak semua wahana bisa dinaiki sesuai tinggi badan dan usia.

"Ancam pulang saja kalau mereka membandel." Nasihatku agar anak-anak menurut.

Hari itu sudah sangat terik. Aku menggandeng Caca menuju wahana tujuan kami, tapi sesuatu membuatku cemas. Bagaimana bisa Rudi membawa anak-anak, sedangkan Satria tidak ada yang menjaga?
Aku terlalu bersemangat hingga Satria luput dari perhatian. Tadi, laki-laki di kursi roda itu hanya diam seolah mencerna situasi yang kacau.

"Kamu mau ikut kami?" tanyaku padanya.

"Apa orang cacat bisa naik wahana?" Pertanyaan itu terdengar satir. Seperti menegaskan tidak ada yang bisa dimainkan untuk orang yang bahkan berdiri saja tidak mampu. Dalam benakku, pertanyaan itu sama artinya dengan: apa kami yang terbuang dan tinggal di panti boleh punya orang tua?

Aku bungkam sesaat, memikirkan jawaban. "Aku tidak tahu." Ujarku dengan nada turun.

Satria tiba-tiba saja tertawa, "Sudahlah, Naya, aku di sini saja. Enggak ada yang bisa aku naiki."

Walau begitu, kudorong kursi rodanya hingga tepat tiga meter di jalur antre istana boneka. Masih sepi di sini. Beberapa petugas terlihat. Dari luar, bangunannya menarik dengan cat warna-warni khas anak-anak. Caca lompat-lompat tak sabar.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang