Epilog

12.2K 648 71
                                    

"Mama sering kehilangan sesuatu," keluh Mama siang itu.

"Hilang apa, Ma?" tanyaku melepas sarung tangan bernoda tanah, menyingkirkan pot besar bunga adenium yang sudah rapi kupangkas daunnya.

"Koleksi tanaman Mama yang paling berharga. Anggrek vanda, lili, mawar,  semuanya hilang."

Bulan lalu, Satria membawa satu pot bunga lili. Katanya, untuk menambah koleksi bilik tanaman. Kemudian, seminggu berikutnya dibawakan lagi dua pot bunga baru. Aku jadi curiga, jangan-jangan, seluruh bunga yang diangkutnya adalah koleksi milik Mama?

"Mama yakin, suamimu yang ambil dari sini," diliriknya aku sekilas. Aku pura-pura sibuk menggunting daun kuning pada batang bunga matahari, bergeser mengamati tanaman lidah mertua yang penuh dalam pot kecil. "Anggrek vanda Mama yang hilang itu paling indah. Sebelum hilang, Mama lihat Satria masuk ke sini bersama Rudi. Mama sudah tanya Satria, tapi dia kekeh bilang enggak tahu. Katanya, orang buta mana bisa mencuri? Ah, Mama curiga dengan Rudi. Mereka sekongkol. Sayangnya, Mama enggak punya bukti."

Aku berdeham. Hilang muka dengan kelakuan suami sendiri. Bagaimana pun, aib suami, ya aib istri juga.

Ada sebuah rumah kaca di belakang halaman tempat Mama menyimpan koleksi berbagai tanaman hias. Mirip bilik tanaman di panti, tapi di sini lebih besar dengan tumbuhan lebih banyak. Tersusun, tergantung rapi, dan dirawat dengan baik. Mama curhat lagi, sekilas sering mengamati Satria mengendap-endap ke sini. Mama pikir, Satria hanya melihat-lihat agar suasana hatinya membaik dengan memandang kelopak warna-warni yang indah. Nyatanya, beberapa hari kemudian, Mama sadar ada tanamannya yang raib.

"Kenapa kamu mencuri bunga-bunga milik Mama?" tanyaku suatu pagi dua hari kemudian.

"Aku enggak mencuri, Naya. Aku minta."

"Mama mengomel, cari-cari bunga kesayangannya."

"Aku cuma ambil dua."

"Empat!" ralatku.

Ia mendengkus, mengangkat kepala. "Iya, empat." Akhirnya mengaku.

Ia menyurukkan lagi wajahnya di leherku. Mengendus sesaat. Aku menggeliat tak nyaman.

"Jangan bergerak!" titahnya, melanjutkan yang sempat tertunda.

Aku pasrah sesekali mendesah kecil, tak mampu bangkit dari berbaring dengan badan tegapnya menindihku.

"Kita harus jemput Putri di rumah Mama." Aku menghindar kecupannya yang mengarah ke dada. "Satria, ayolah! Kita harus keluar kamar, ini sudah siang! Apa kata Bunda nanti?"

Dengan malas, Satria menegakkan badan, memakai pakaiannya, dan menurunkan kaki menjangkau sepasang kruk.

"Lanjut malam?" tanyanya masih berharap.

Aku menutup dada yang terbuka dengan selimut, "Malam nanti ada Putri! Kamu ingat apa kata dokter?"

Ia mendengkus, "Ya ya ya, trimester awal harus mengendalikan diri. Puasa." Selanjutnya, Satria mengoceh-ngoceh tidak jelas. Terseok keluar kamar menggunakan penyangga. Aku memperhatikannya yang masih kaku menggunakan alat bantu berjalan itu.

Aku senang, sudah beberapa bulan ini Satria mau menjalani terapi melatih kembali saraf dan otot kakinya yang telah lama ia pasrahkan begitu saja. Ia berujar padaku ingin sekali mengangkat Putri ke gendongan dengan tanpa bantuan. Aku mengamini keinginannya, mendukung dan menyemangati sepenuh hati. Beberapa bulan berlatih, Satria mulai menguasai cara memakai kruk. Kursi roda elektriknya yang canggih itu disingkirkan. Meski targetnya belum tercapai, setidaknya Satria percaya diri bisa pulih seperti sedia kala.

Pagi ini, aku cepat bergegas. Putri menginap di rumah Mama-Papa sudah dua malam. Satria antara senang dan sebal Putri tidak ada di rumah. Mama dan Papa selalu membujuk cucunya agar mau bermain lama-lama di rumah mereka. Mainan, makanan, dan sederet keinginan akan dikabulkan dengan satu syarat: menginap di rumah oma dan opa. Satria jadi jengkel. Ia jadi kurang memiliki waktu berkualitas bersama anaknya.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang