🌷Enam Belas🌷

5.2K 408 8
                                    

Aku harus menjaga kewarasan untuk tetap tenang meski banyak kabar menyerbu telinga. Kusabarkan hati, bersikap seolah tak pernah terganggu dengan informasi yang membuat palung hati terasa menyempit.

Tidak mudah menjadi Aya. Harus menyaksikan Satria mudah tersulut emosi. Sifatnya tak banyak berubah kecuali penampilan yang harus diakui ia menawan. Kebersamaannya dengan Kana terkadang membuatku risih. Aku mengenal Kana lebih dari separuh usiaku. Aku mengenal Satria di waktu yang sempit dan terbatas, tapi cukup dalam sehingga kami dekat. atau..., aku saja yang merasa kami dekat? Masa itu, masa yang pernah ada di suatu hari.

Keduanya tak pernah mengakui aku pernah ada di hidup mereka. Aku cinta sendiri. Terabaikan oleh rasa memiliki.

"Aya! Bawakan belanjaan itu!"

Bahkan, saat aku diperlakukan semena-mena oleh Kana, tak pernah ada pembelaan dari Satria, ia hanya menonton dan diam. Ah, jangan terlalu berharap lebih. Aku sedang menjadi Aya si pembantu yang tak perlu dibantu meski tangan kanan dan kiri berat oleh kantung-kantung belanja. Saking penuhnya genggaman, tak sengaja aku menjatuhkan satu. Kana berang, dimarahinya aku dengan kata-kata meremas hati keluar dari bibir merahnya.

"Gaji kamu tidak akan pernah bisa membeli ini semua, jadi berhati-hatilah! Ini barang mahal," ungkapnya merampas paksa kantung dariku. Ia seperti tidak percaya padaku, disangkanya mungkin aku iri dengan segala yang ia miliki saat ini sehingga ada niat menjahatinya.

Beberapa waktu belakangan aku berusaha bicara dengannya. Meski sulit, kami bisa bicara berdua, tapi Kana selalu menghindar. Aku membujuknya untuk pulang sebentar ke panti. Setidaknya bertemu Bunda Laras dan yang lain melepas rindu.

"Pulang? Panti itu bukan rumahku. Rumahku adalah di mana mami dan papiku berada."

Kana banyak berubah, atau memang itu sifat aslinya yang tidak kuketahui dan tidak terungkap saat di panti dulu?

Satu jam lagi waktu kerjaku usai. Tak sabar aku untuk pulang dan menemui Putri. Gadis kecil itu pasti sudah menunggu kedatanganku. Aku menjanjikan akan membawa buah tangan jika aku tiba. Itu hadiah atas kesabarannya merelakanku pergi bekerja. Ada rasa meletup-letup kala membayangkan ia melompat-lompat semringah melihat aku membawa es krim. Namun, sekali lagi aku harus mengurut dada sebab sudah hampir dua jam aku berada di belakang lelaki itu, tapi belum ada tanda-tanda untuk pergi dari restoran sepi pengunjung bernuansa abad pertengahan ini. Kana sudah pulang satu jam lalu, Satria entah menunggu siapa. Sebuah map terus diperhatikannya satu per satu. Lama ia memandangi kertas bersketsa yang mirip dengan kertas yang tempo hari kulihat. Kali ini gambarnya agak berbeda walau objeknya sama—balita usia bulanan, memakai gelang indah bermanik mutiara kali ini.

Siapa yang sedang dicari Satria? Tanyaku dalam hati berharap ada jawaban.

Sketsa itu tidak mirip dengan Putri. Jadi, mustahil Satria mengetahui Putri ada.

berkali-kali kulihat jam berharap Satria tahu waktu kerjaku akan habis. Ia malah memesan lagi dua cangkir kopi meski satu miliknya masih ada.

Ada yang datang tiba-tiba dan duduk menghadap Satria. Perawakannya laki-laki, tegap, besar, tinggi, tapi yang paling aneh adalah setelan laki-laki asing itu serba hitam. Jaket, topi, celana, bahkan sebuah buff yang terlilit di lehernya. Laki-laki itu menyesap kopi yang baru diantar. Bicara sedikit, menyerahkan sebuah map kuning, dan ia menangkap kehadiranku dengan curiga.

"Siapa?" tanya laki-laki itu. Mata besar itu mengamati seolah-olah aku orang jahat dan patut dicurigai.

"Pendamping baru," jawab Satria tidak ikut menoleh ke arahku. Satria malah sibuk membuka-buka isi map.

"Oh, orang yang dipilih Rudi atas desakan Pak Raka? Ancaman Pak Raka ternyata ampuh juga membuat kamu mencari asisten. Mirip jompo dan pengasuhnya." Tawa lelaki itu menggelegar. Selera humornya sama buruknya dengan setelan serba hitam itu. Jangankan Satria, aku pun tak minat ikut tertawa lebar begitu.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang