🌻Sepuluh🌻

6.2K 420 4
                                    

Luka bisa mengering, tapi bekasnya tidak hilang begitu saja. Torehan ini bukan lantas menjadikan aku perempuan yang pasrah pada keadaan. Mengurung diri akibat parut yang melintang di wajah karena dosa yang pernah kubuat. Putri tak pernah kubiarkan keluar. Terlalu banyak mulut tajam di sana dengan kata-kata menyakitkan. Melindungi Putri dari serangan adalah tujuanku. Tidak pernah ingin ia terluka.
Aku tahu, banyak selentingan kabar tentang kami. Ditinggal suami, kabur dari rumah, perempuan nakal, janda ditinggal kawin, dan banyak lagi kabar berita yang tidak pernah kutanggapi dan perlahan menguap begitu saja. Tak perlu juga aku susah-susah meralat kabar-kabar itu. Tidak penting bagiku, tidak penting untuk putriku. Namun, isu-isu yang sudah ditambah bumbu agar gurih dikonsumsi merebak lagi. Mas Damar sering datang ke rumah malam-malam. Intensitasnya menjadi kerap belakangan ini. Entah sekadar mengirim makanan, curhat masalah pekerjaan yang punya klien menyebalkan, menanyakan kabar Putri, meminta saran tentang Dendi, atau sekadar mampir lalu permisi.

Rumah kami bertetangga, beda blok dan selisih satu gang. Aku khawatir, tetangga sekitar menyebar isu yang tidak-tidak, walaupun yang kami bicarakan jauh dari pembicaraan romantis. Aku juga cemas berita itu berimbas pada pekerjaanku di kediamannya—itu satu-satunya mata pencaharianku. Tidak ada keterampilan yang aku kuasai. Pekerjaan itu membuat aku dan Putri bisa bertahan di sini tidak tergoda untuk pulang walau sangat ingin.

Kusabarkan hati berjauhan dari Bunda Laras. Kutekan rindu pada suasana panti yang selalu ramai. Di sini betul-betul kebalikannya. Meski Umi Nurul sama baiknya dengan Bunda, tapi tetap saja hati yang menahan gelisah ini ingin bersemuka.
Ratna sudah punya orang tua—pasangan tidak memiliki keturunan sudah 20 tahun menikah, Caca masih bertahan. Aku bisa mengerti perasaan Caca yang ditinggal sahabat tercintanya. Kata Bunda, Ratna meminta agar calon orang tuanya mengadopsi Caca juga. Ratna tidak bisa meninggalkan Caca. Sebuah masa-masa sulit bagi Bunda. Di sisi lain, Ratna sudah dijemput kebahagiaannya sendiri, Caca yang memiliki sakit bawaan tidak mungkin dibawa oleh calon orang tua Ratna. Mereka ingin anak yang sehat dan tentu tidak ingin dibebani masalah baru.

Akhirnya dengan drama yang menyayat hati, mereka berpisah. Dikatakan oleh Bunda pada Ratna bahwa ia bisa menemui Caca kapan pun ia mau. Caca masih di panti tidak akan ke mana-mana. Namun, aku menyangsikan Ratna akan sering menemui Caca jika di tempatnya yang baru segalanya tercukupi dengan baik.
Sekelumit kabar terbaru itu aku tahu dari percakapan terakhir dengan Bunda.

Di sini, aku punya kebiasaan baru. Umi Nurul sering memergokiku melamun, katanya mengelana pikiran tidak baik. Ada Putri yang bisa tiba-tiba keluar rumah tanpa terdeteksi. Pernah sekali waktu Umi menemukan Putri bermain sendiri di tepi jalan yang ramai. Kebiasaan bengong bisa merugikan dan kesempatan yang harusnya bisa dimanfaatkan hilang bersama waktu yang fana.

Terpikir dari sana, Umi membelikanku alat perkebunan sederhana. Umi tahu, aku biasa merawat tanaman. Dibelikannya aku bibit bunga matahari, katanya mendiang suaminya, kakak Bunda Laras, menyukai bunga kuning itu.
Berawal dari beberapa pohon, kini sudah banyak tumbuh tanaman yang lain. Mawar merah, si putih aster, melati yang menerbangkan wangi saat malam hari, dan beberapa yang lain.

Hari itu saat aku libur bekerja, Umi membawakanku beberapa tangkai anggrek. Aku tersekat, ada gelenyar aneh kala Umi memberinya padaku. Dada ini seketika kebas. Kuserahkan lagi tanaman itu.
"Naya enggak mau tanaman itu, Umi. Halaman sudah penuh. Sudah tidak ada tempat." Aku balik kanan.

Kutinggalkan Umi di halaman belakang, ingat Putri yang main sendirian di depan rumah bersama kelinci kecil yang kubeli dua hari lalu. Tak disangka, Mas Damar menemani Putri selonjoran di teras. Pria berkacamata itu menggendong kelinci mengelus bulu yang tak diragukan kehalusannya. Putri dengan polos menyodorkan sebatang kangkung, bibir kelinci mengatup terus.

"Siapa nama kelincinya?" Mas Damar bertanya, beralih mengelus kepala Putri di hadapannya.

"Putli enggak tau. Bunda enggak kasih nama."

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang