"Ke sana, Om Satlia! Ke sana!"
Putri di pangkuan Satria, kursi rodanya bergerak-gerak cepat ke berbagai arah yang Putri tunjuk. Dapur, taman belakang, kamar, dan putar arah lagi ke ruang tengah. Tawa Putri memberisiki rumah.
Ada yang aku lewatkan. Proses Putri menjadi dekat dengan Satria tanpa kusadari dan langsung menghangatkan hati. Seharian gadis kecil itu betah ada di rumah besar ini. Pergerakannya bagai gasing yang diputar dengan kecepatan penuh. Menjelajahi tiap sudut tanpa lelah. Aku yang agak segan masuk ke kamar pribadi Satria dibuat menahan debar kala Putri tanpa takut masuk ke ruangan yang suasana di dalamnya beraura aneh.
Satria juga lebih lunak sedikit. Saat aku tak membawa Putri ke rumahnya, ia bertanya. "Mana Putri?"
Aku mencari alasan sekenanya. "Dia enggak mau ikut." Padahal, aku hanya tidak ingin menjadikan Putri sebagai alat untuk menyadarkan Satria.
Tali naluriah antara ayah dan anak menguat tanpa kusadari. Bekerja dengan cara misterius dan ajaib. Buktinya, Satria dan Putri bisa cepat seakrab ini.
Aku pernah mendengar Putri berkomentar pada Satria. "Om Satlia enggak pelnah capek jalan kayak Putli. Putli juga mau pake kulsi itu."
Sejak itulah Satria memberi izin pada Putri menumpang kursi elektriknya yang bisa bergerak sesuai keinginan si penunggang. Satria diperintah untuk berjalan ke mana Putri mau. Anehnya, ia nurut-nurut saja. Mungkin tawa renyah Putri candu baginya.
"Kata Mama kamu mirip aku. Tapi kayaknya enggak. Kamu lebih manis. Pasti mirip ayahmu."
"Putli enggak ada ayah," ujar Putri lugu.
"Ke mana?"
"Enggak tau. Bunda enggak bilang."
Sebelum pembicaraan mengarah ke hal yang jauh, aku menurunkan Putri dari pangkuan Satria. Gadis kecil itu mengembungkan wajah tak terima, pipinya memerah.
"Putli mau main sama Om Satlia!" protesnya mengentakkan kaki.
"Om Satria enggak boleh capek. Harus istirahat. Kita juga harus pulang," jelasku memberi pengertian.
"Pulang?" gumam Satria sambil melihat jam di tangannya. "Waktu kerja sudah habis, ya?" tanyanya seperti enggan melepas kami.
Rumah ini sunyi melebihi ruang hampa udara di seluruh galaksi. Dengan adanya Putri merotasi di sini, rumah seakan hidup. Memberi hangat, bahagia, dan ramai. Satria membutuhkan itu.
Aku menolak tawarannya mengantar kami pulang. Buru-buru ke luar sebelum ia memaksa.
Di rumah kami yang tidak bisa dibilang besar, Putri berceloteh terus. Banyak bertanya ini-itu.
"Kenapa Om Satlia enggak jalan aja, Bunda?"
"Om Satlia lucu."
"Om Satlia bisa belenang?"
"Di lumah Om Satlia enggak ada Momo ya, Bunda?"
Kebanyakan jawaban yang aku lontarkan adalah 'Bunda enggak tahu, Nak.' Kemudian, aku pura-pura tidur agar tidak mendengar pujian Putri untuk Satria yang baik. Terakhir, katanya besok ia ingin ikut aku bekerja lagi. Ada yang meletup di hati tahu Putri sudah sedemikian dekat dengan Satria menjadikan jarak yang pernah terbentang semakin menipis.
Pagi itu, suara Satria memanggilku dari kamarnya. Putri bermain dekat kolam. Kuperingatkan ia untuk tidak terlalu dekat dengan tepi sementara aku memenuhi Satria.
"Temukan Clarissa dan panti itu, atau uang tidak akan kamu dapatkan!"
Satria membanting ponsel ke kasur, bicara pada seseorang, ia membuka pakaian dan melemparnya dengan kesal, kemudian menoleh ke arahku yang memperhatikannya bertelanjang dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...