🌷Dua Belas🌷

5.4K 417 4
                                    

Kemudian di hari-hari berikutnya tidak lagi terasa sama.
Aku banyak menghindar bertemu Mas Damar. Beruntungnya beberapa hari ini ia sedang keluar kota melakukan perjalanan bisnis. Namun, tetap saja, kalimat Mbak Sara terus mengganggu. Kabar-kabar buruk di luar tentang Mas Damar yang selalu datang ke tempatku mungkin telah sampai ke telinga Bu Laksmi. Beban pekerjaan malah semakin berkurang. Aku yang biasa memapahnya ke berbagai tempat harus rela ia melakukannya seorang diri. Bahkan, saat keluar rumah aku tidak diikutsertakan untuk mendampingi. Aku seperti tidak lagi dibutuhkan. Perlahan-lahan tidak dianggap sebagai pegawai rumah yang keberadaannya juga butuh tugas.

Aku banyak merenung. Kenapa hidup tak semudah yang aku harapkan? Aku ingin hidup tenang bersama Putriku. Segenap hati aku rela melakukan apa saja demi kelangsungan kami tanpa membebani siapa pun. Namun, segalanya menjadi teramat jelas setelah Bu Laksmi bicara denganku. Dadaku berdenyut hebat kala ia memanggilku. Sudah seminggu aku seperti dibebastugaskan. Membantu di dapur, tidak boleh—aku malah diperintah mengurus taman, tapi diusir Pak Kadir karena dianggap tidak akan suka kotor oleh tanah. Atau saat melihat meja berdebu, tidak diperkenannya juga aku untuk membersihkan. Aku serbasalah.

Aku tidak menyangka pembicaraan ini akan begitu berat. Ada banyak hal yang disampaikan. Tentang bagaimana ia mendidik dan merawat putra-putrinya seorang diri, tentang perjuangnya yang kini berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai kebanggaan.

"Saya cukup kagum dengan perjuanganmu, Naya. Dari awal saya tahu kisah kamu dari Umi Nurul. Saya merasa kita memiliki kesamaan. Berjuang sendiri membesarkan anak bikin saya ingat perjuangan saya dulu. Itulah sebab saya terima kamu bekerja di sini. Tapi..."

Kalimat itu terdengar wajar, tapi dengar nadanya. Mengintimidasi penuh penekanan. Tatapan Bu Laksmi menyorotku dengan pandangan satu tingkat dari kata meremehkan. Aku hanya mampu menatap ubin bersih di bawah kakiku. Tidak mampu mengangkat wajah yang rahang kuat itu pasti membuatku mengkeret. Sempat heran aku pada Mbak Sara mengapa ia tidak takut pada wajah ibunya yang angker.

"Ini soal Damar, dia akan segera menikah," katanya melanjutkan. "Damar harus punya keluarga bahagia. Itu sebabnya saya panggil kamu. Saya sudah dengar banyak kabar-kabar itu."

Isu bohong telah menghasut Bu Laksmi. Aku yakin, ia tidak mengkonfirmasi langsung kebenarannya pada Mas Damar atau aku. Bu Laksmi memilih percaya pada apa yang ia yakini benar. Aku tetap tidak bicara. Dalam benak, aku sudah rela dibebankan tugas berlipat asal tetap bekerja di sini. Aku bisa menghindari Mas Damar, aku bisa tidak bertemu dengannya agar isu itu mereda. Namun, tampaknya Bu Laksmi memiliki jalan pikiran lain. Menunggu kalimat selanjutnya bikin perut mulas, ada gerakan aneh di lambungku.

Aku sudah puas memandang ubin. Efeknya, panas merayap di punggung, terasa sekali tetes keringat turun dari atas ke bawah. Tanganku sudah merah akibat kuremas kuat. Menanti dalam kalut.

"Kamu tidak bisa kerja lagi di sini, Naya, maaf."
Bahuku melorot, beberapa detik tak percaya apa yang kudengar. Seketika aku secara refleks mengangkat wajah. Tidak ada raut gurau pada wajah di depanku—sosok berkursi roda yang menggenggam sebuah amplop cokelat di pangkuan.

Bu Laksmi menyodorkan benda itu, aku tergugu dengan hati mencelus nelangsa. Katanya ini upahku yang terakhir. Bu Laksmi berpesan jangan pernah lagi muncul di depan mereka. Ia tidak ingin kabar-kabar itu mengganggu kediamannya yang biasa tenang dan damai.
Terang sekali ia menganggapku sebagai ancaman yang bisa mencemari nama baik dan mengganggu rencananya untuk Mas Damar.

Mataku sudah berat, kabut menutupi pandangan, dan telapak kaki rasanya tidak menyentuh lantai. Pikiranku langsung terbang ke beberapa tahun lalu. Saat perut membuncit kesakitan tiada apapun yang bisa aku lakukan kecuali berdoa.
Berharap suatu saat nanti aku bisa membesarkan Putriku dengan cara yang halal. Kebaikan Bu Laksmi aku anggap sebagai jawaban atas doaku. Mungkin saat ini, sudah tiada artinya mengenang kebahagiaan yang berganti pilu. Bagaimana aku bisa membesarkan Putri jika pekerjaan saja aku tak punya?

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang