Sejak itu, Satria agak lain padaku. Kadang, disela mencuci piring atau mengambil sesuatu, aku memergokinya memperhatikanku lekat-lekat. Nada bicaranya juga lebih haluuus sedikit. Aku tidak tahu bagaimana cara membuat sikap lelaki itu kembali normal. Sebab, Rudi juga menyadari sikap Satria dan bertanya apa yang aku dan Bosnya perbuat di ruangan sempit itu.
"Aku tidak melakukan apapun!" seruku berbohong. Tidak ada gunanya bicara jujur, sedang yang kami lakukan hanya sebuah kesalahan.
"Lalu, kenapa Mas Satria seperti menghindari Mbak Naya terus?"
"Tanyakan padanya! Aku enggak tahu. Mungkin aku melakukan hal yang dia benci dan berniat segera memecatku."
"Memangnya apa yang Mbak lakukan?"
"Tidak ada dan tidak tahu!" tegasku, hampir melayangkan spatula yang kupegang.
Rudi cekikikan sebab berhasil membuatku jengkel, dan saat itulah Satria melintas. Diliriknya kami dengan ujung mata menyorot sinis. Kursi roda itu mendekat pada dispenser, air panas yang ia pilih tertampung di gelas.
"Mas Satria mau dibikinkan teh atau kopi?" tanya Rudi inisiatif menghampiri.
"Enggak!" Tangan Satria menyenggol pinggang Rudi menyuruh awas dari hadapannya. "Minggir!"
Dengan siapa pun, di mana pun, kondisi apa pun, Satria tidak pernah bersikap ramah. Termasuk juga pada mamanya sendiri yang dalam beberapa hari terakhir ini berkunjung setiap hari. Satria makin ketus saat Bu Nita datang bersama Kana.
"Mama enggak sengaja bertemu dia di depan."
"Enggak sengaja, atau sengaja, biar terlihat enggak sengaja?"
"Astaga, Satria!" Bu Nita habis sabar menghadapi putranya.
Kutaruh dua cangkir teh di antara mereka yang berhadapan di ruang kerja. Kana tak dibiarkan masuk, Satria melarang.
"Mama tidak pernah tahu Nata merencanakan apa terhadap kamu. Dan kamu masih saja menyangka Mama yang ada di balik rencana bodoh Nata untuk membuat kamu dan Kana menikah?"
"Satria sedang tidak ingin membicarakan itu, Ma."
"Kamu harus dengar, walau Mama dan om-mu kembar, tapi Mama tidak bisa membaca setiap rencananya sebelum dia meninggal." Bu Nita menjauhi sofa, berdiri di jendela kaca yang berhadapan dengan kolam. "Mama bahkan enggak tahu kalau dia menyembunyikan rahasia besar."
"Dan Satria satu-satunya orang yang harus mengungkap rahasia itu."
"Kami hanya dua bersaudara. Tidak ada kakak atau adik yang bisa dimintai tolong selain kamu anak tunggal Mama. Nata benar-benar bodoh membuat kamu terlibat." Bu Nita menghadap Satria. "Dan jangan lagi kamu salahkan segalanya pada Mama. Mama tidak tahu apa-apa termasuk hubungan gelapnya dengan seorang wanita yang Mama tidak tahu siapa."
"Aya!" seru Satria padaku yang mengaitkan tangan, menunduk menekuri lantai. "Keluarlah! Kamu terlalu banyak mendengar yang seharusnya enggak kamu dengar."
Aku berbungkuk, hendak undur diri. Satria memanggil lagi.
"Katakan pada Kana, saya sibuk, tidak bisa ditemui jika hanya rencana tolol pernikahan itu yang ingin dia bahas."
Aku mengangguk, keluar ruangan. Kukatakan sejelas-jelasnya pada Kana. Ia berang bukan main, mengempas diri ke sofa, bersedekap, dan menunjukkan wajah tak bersahabat. Diperhatikannya aku dari ujung kaki ke ujung rambut.
"Kamu tidak berubah ya, Naya. Dengan rumah sebesar ini dan majikan yang tampan, penampilanmu masih saja membuat malu." Kuremas rok bawah lutut yang warna birunya sudah memudar. Pakaian tangan panjang ini juga tampak kontras dengan pakaian Kana yang modis. "Pergilah sesekali membeli pakaian bagus, jangan terlalu memperlihatkan kamu anak yatim piatu dan sengaja mencari simpati orang-orang." Kana sedang kesal. Ia menjadikan aku sebagai pelampiasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...