🌻Sebelas🌻

5.6K 428 5
                                    

Permintaannya kutolak. Aku tidak ingin menyebar iba pada kemalangan nasibku dan Putri. Walau tanpa suami, aku bisa melakukan apapun sendiri. Bukannya tidak ingin Putri memiliki ayah, tapi entah mengapa aku keberatan Mas Damar menawarkan diri menjadi ayah Putriku.
Apa kata Bu Laksmi dan Mbak Sara mendengar Putri memanggil Mas Damar ayah? Tidak bisa kubayangkan wajah keras Bu Laksmi keberatan putranya menjadi bapak seorang anak yang entah ayah kandungnya ada di mana.

"Maaf kalau permintaanku bikin kamu tersinggung. Aku cuma-"

"-kasihan," aku menggeleng, menyambung kalimat yang entah benar atau tidak. "Terima kasih Mas Damar menganggap Putri sebagai anak, tapi untuk saat ini rasanya belum perlu. Putri belum siap. Lagi pula apa kata orang-orang nanti."

"Berbuat baik tidak harus mendengar apa kata orang. Tapi aku menghargai keputusan kamu." Mas Damar menghela napas berat, "Andai aku bisa memilih." Bisik lelaki putih itu yang pandangannya menembus langit-langit beranda.

Tak lama mas Damar pulang. Aku bisa lega sosok itu menghilang setelah melalui gerbang. Namun, sepenuhnya belum merasa tenang. Satu jam kemudian mbak Sara menemui kami. Katanya ia sedang bersembunyi.

"Ibu memaksaku menikah lagi. Laki-laki tampan, berduit, dan katanya setia. Aku mana percaya. Sekarang orangnya di rumah. Lagi ngobrol sama Damar. Aku kabur lewat pintu belakang." Mbak Sara menjelaskan sambil mengudap biskuit Putri di meja makan.

Aku dan umi Nurul sudah tahu tabiat bu Laksmi. Wanita itu walau renta tapi perintahnya haram dibantah. Sosok di balik kursi roda itu masih memiliki aura kuat yang memegang teguh adat Jawa.

Cara bu Laksmi mendidik anaknya memang terkesan otoriter cenderung kolot. Penganut budaya Jawa yang masih percaya takhayul. Menikah adalah prosesi agung menurutnya. Tidak boleh asal menentukan. Harus ditimbang bibit, bebet, dan bobotnya. Anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga, status keluarga dicermati baik-baik, dan banyak lagi aturan yang lain.

Namun, seberapa pun hal itu seleksi dengan hati-hati, tetap saja kemalangan tidak bisa ditolak. Mas Damar yang pertama jadi korban akibat keegoisan bu Laksmi. Lelaki baik hati itu tak kuasa menolak dijodohkan dengan perempuan berstatus sosial tinggi-anak seorang pejabat daerah. Pernikahan hanya berumur kurang dari tiga tahun saat Dendi berumur dua.

Menikah bukan atas dasar cinta menjadi penyebab. Hak asuh Dendi jatuh ke tangan Mmas Damar sebab terbukti sang mantan istri menelantarkan anak dan berselingkuh.

Korban kedua adalah adik kembar Mmas Damar, mbak Sara. Singkat cerita, bu Laksmi mencarikan calon suami yang sederajat. Pernikahan terjadi lagi-lagi bukan atas dasar kasih sayang. Bertahan kurang dari satu tahun.

Kini, mbak Sara di hadapkan lagi dengan pemaksaan yang mustahil ditolak. Bu Laksmi agaknya tidak kapok. Tidak pula mereka diberi pilihan suka atau tidak.

"Kalau Damar manut-manut saja dengan perintah Ibu, saya enggak! Saya menolak. Saya bukan anak kecil. Memangnya masih zaman kuda gigit besi harus dijodoh-jodohkan?" tutur Mbak Sara, tersirat sedikit emosi.

"Bu Laksmi punya Maksud baik sama anak-anaknya. Beliau hanya pengin anak-anaknya dapat orang terbaik."

"Orang terbaik bukan berarti baik, Umi. Coba Umi lihat si Baskoro mantan suami saya. Katanya ningrat, tapi kelakuannya lebih-lebih dari orang enggak beradab!"

"Coba kamu ngomong baik-baik sama ibumu."

"Percuma, Umi, omonganku enggak didengar. Cuma si Damar aja yang manut buanget. Padahal aku tahu Damar lagi suka sama perempuan lain, bukan si Ririn itu. Si Damar enggak jantan."

Aku yang sedari tadi diam, mendapat lirikan dari mbak Sara. Mata mbak Sara mengikutiku yang akan mengisi ulang air minumnya. Gerakanku jadi kikuk. Air hampir meluber jika tidak ditegur.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang