🌸Empat🌸

8.1K 489 7
                                    

Keberadaan ruangan semi terbuka ini hanya penghuni panti yang tahu. Ruangan cukup besar untuk menampung banyak bebungaan dan tanaman lain.

"Jadi, di mana kita saat ini?" tanya Satria saat aku menyiram sebuah pot bunga mawar yang mulai layu.

"Pasti Bunda lupa siram lagi," Aku mendengar pertanyaan Satria, tapi aku tak acuh.

"Apa kita di taman?" tanya lelaki itu lagi.

Aku tak memedulikannya, sibuk sendiri, "Daunnya sudah mulai kuning," aku bicara sendiri, memotong dahan kering dengan gunting khusus, membuang ke tempat sampah yang ada di bawah jajaran pot aneka bunga sebelah kanan.

"Naya!" panggil Satria dengan nada khas delapan oktaf. Untuk pertama kalinya Satria memanggil namaku. Tetapi aku masih cuek, tidak tertarik menjawab rasa penasaran lelaki itu.

"Di mana kita?"

"Lihat saja sendiri kita sedang di mana. Tidak usah banyak tanya!" jawabku ketus akhirnya.

Ada jeda beberapa saat, sebelum Satria bersuara. "Perlu aku ingatkan kalau aku buta?"

"Dan, apa perlu aku ingatkan kalau kamu juga buta hati?"

Terdengar Satria mendengkus keras, aku tidak peduli reaksinya. Terus membersihkan tanaman yang lama tak terurus karena kesibukan. Perhatianku sedang pada kelopak putih melati yang berguguran, daunnya dimakan serangga. Kupangkas, lalu kubersihkan sisanya.

Dari ekor mataku, Satria dan Rudi berkeliling. Rudi dengan sabar menjelaskan apa-apa yang ada di hadapan mereka. Kuperhatikan mereka lama di sebuah bilik yang banyak barang pecah belah disusun rapi. Sebuah tongkat kayu di sudut bilik tak luput dari penjelasan Rudi untuk Satria.

Lama mereka di sana, aku tak sempat mendengar detail percakapan. Namun, tampaknya Satria tertarik untuk masuk.

"Tunggu!" Aku menghalangi mereka, menjulang di ambang pintu. "Tidak ada yang boleh masuk ke bilik ini selain penghuni panti!"

Entah apa yang sudah Rudi jelaskan hingga Satria tertarik pada deretan tembikar yang cacat itu. Satria tampaknya tidak bisa menunggu lama untuk tidak masuk.

Ia mendorongku dengan kursi rodanya. Aku terdorong masuk. Lelaki kumal itu meraba-raba sekitar, seperti berusaha mengenali setiap benda yang ia sentuh.

"Bunda tidak akan suka melihat kamu berada di bilik ini. Keluarlah!" seruku berusaha mengusirnya. Satria bergeming. Melanjutkan melihat melalui telapak tangan yang beralih fungsi menjadi mata.

Tembikar-tembikar ini dibuat tanpa ada maksud tak bisa digunakan. Mereka gagal ditempa api ratusan derajat. Dulu, kegiatan membuat tembikar masih aktif sebelum panti mengalami krisis keuangan.

"Apa tempat yang kamu bilang bilik ini boleh aku gunakan?"

Tidak pernah aku dengar Satria berbicara dengan nada seolah penuh harap begitu, ia seperti menunggu kalimat jawaban, dan memastikan yang keluar dari mulutku adalah hal yang ia harapkan.

"Bunda tidak akan membiarkan siapa pun memakai bilik ini!" Kalimat yang cukup sebagai jawaban pertanyaannya.

"Izinkan aku." Satria memohon.

"Tidak!"

"Bukankah Bu Laras bilang aku boleh ke sini?" Ia mulai mendebat.

"Bunda tidak bilang beliau mengizinkanmu masuk."

"Bu Laras mengizinkanku secara tidak langsung, ia mempersilakanku."

"Ini bukan ajang coba-coba. Setiap orang yang masuk Bilik Amarah harus menanggung konsekuensi, dan aku tidak-"

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang