Saat aku bicara pada Umi menerima tawaran perkerjaan dari Mas Damar, ia memelukku. Tak banyak yang dibicarakan, hanya seulas senyum dan sepasang mata tergenang cairan yang ditunjukkannya padaku.
Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkan wanita setengah baya yang begitu baik ini. Aku telah diterimanya dengan tangan terbuka. Kebaikannya tak akan pernah kulupakan.
Tak ingin menunjukkan kesedihan di depan Umi, Kuseka butir hangat melintas pipi diam-diam.
"Jika kamu butuh tempat, datanglah ke sini." Ditepuk pipiku. Aku menarik kedua sudut bibir sambil mengangguk. Kucium punggung tangan Umi Nurul sebagai rasa hormat. "Kapan berangkat?" tanyanya.
"Besok pagi. Mungkin sampai panti malam," kataku mengusap bahu Umi.
Umi mengangguk. "Kamu sudah tidak lagi mimpi buruk? Bulan-bulan lalu sering sekali terbangun waktu Umi salat malam."
"Naya nurut kata Umi untuk perbanyak doa."
"Cuma satu pesan Umi untuk kamu. Jangan sering-sering melamun. Jangan lengah jaga Putri. Semoga pekerjaan kamu lancar dan berkah. Umi doakan dari sini kamu menemukan kebahagiaanmu."
Aku memeluk Umi lagi. Lebih kencang kali ini. Aku mengamini doanya dalam hati.
Putri menarik bajuku. "Bunda sama Umi pelukan telus." Komentarnya menengadah.
Umi tertawa maklum. Dibawa Putri ke pangkuan. "Nanti Putri lupa enggak sama Umi?"
"Kenapa lupa?" Polos Putri bertanya.
"Putri kan mau tinggal di rumah Nenek Laras." Jelas Umi membelai pipi tembam yang memerah habis makan buah naga.
Putri terlalu lugu untuk menanggapi dan mengerti bahwa sebuah perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan. Pikiran kanak-kanaknya mengatakan bahwa ia akan bertemu nenek yang hanya dua kali ditemui dan hanya bicara melalui telepon.
Tentu aku juga bercerita bahwa di panti akan ada banyak teman yang bisa diajak bermain. Pada dasarnya, Putri tipe anak yang mudah berbaur dan cepat beradaptasi. Tidak sepertiku yang cenderung menarik diri menghadapi lingkungan baru.
Kembali aku mengemas pakaian. Melipat celana, menjejal serta sebuah album foto, dan memilih mana yang layak kami bawa atau tinggalkan. Tas besar hampir penuh. Pakaianku tak begitu banyak, begitu pun dengan milik Putri. Bahkan tidak ada yang terlalu bagus dan sayang untuk ditinggal. Kami terbiasa hidup sederhana. Tidak beli, jika tidak mendesak.
Umi membantu Putri memilah mainan. Sebuah boneka panda kecil dan Barbie kuperbolehkan masuk ke tas. Namun, dengan keras ia ingin membawa serta Momo, aku melarang. Binatang hidup menyulitkan di perjalanan.
Sulit bicara dengan anak kecil. Alih-alih sabar, aku mungkin bisa mengeluarkan urat-urat leher kalau Umi tidak menengahi.
"Biar Umi yang merawat Momo di sini. Momo enggak akan bisa Putri bawa di dalam Bus. Kasihan Momo bisa mati." Umi dengan nada keibuan menjelaskan sabar. Aku cukup memperhatikan saja.
Mata Putri beralih padaku dengan penuh harap. Ia tahu, akulah satu-satunya pembuat keputusan. "Boleh bawa, Bunda?" tanyanya sekali lagi mencoba membuatku luluh dengan binar tanpa dosa.
Hampir meluluh, tapi tegas aku menyergah, "Enggak boleh."
Putri memberengut, bibirnya maju dengan wajah merah. Gadis kecil itu sadar tak bisa berbuat apa-apa.
Selesai berbenah, aku memindahkan kardus berisi mainan Putri yang rata-rata hasil pemberian. Saking lama di simpan dan dimainkan, hampir semuanya tidak berfungsi alias rusak. Jadi, kubuang saja daripada menjadi sarang serangga. Meski tampak tidak rela, Putri tidak banyak protes begitu kardus masuk ke bak penampungan sampah. Ia lapang dada menyaksikan benda-benda kesukaannya menjadi barang rongsok.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...