"Kenapa enggak pernah memberi kabar?"Rudi tidak melepasku begitu saja. Ia menanyaiku macam-macam.
Aku tersenyum kecut, pertanyaan itu kuanggap cuma basa-basi belaka. "Untuk apa?" Aku meninggalkan air kolam yang tampak sejuk untuk menoleh ke arah Rudi.
Ia di sampingku seperti kebingungan. "Untuk... ya... biar saya tahu Mbak di mana."
"Memangnya kalau kamu tahu aku di mana, kamu mau susul?" ujarku setengah bergurau, mengusir kecanggungan yang membungkus kami.
"Iya." Tak disangka Rudi serius menjawab. "Saya enggak nyangka, orang yang saya telepon itu Mbak Naya. Tahu begitu, saya jemput langsung."
"Aku juga enggak tahu kalau calon majikanku ternyata bosmu." Kalau saja aku tahu, tidak akan aku terima pekerjaan ini.
Kukatakan pada Rudi aku tidak pernah menghilang. Hanya menenangkan diri ke tempat yang jauh. Mencoba memaafkan diri atas perbuatan masa lalu.
"Mas Satria selalu tanya tentang Mbak Naya. Ada hal yang Mbak Naya mesti dengar sendiri dari Mas Satria. Dia...."
"Semuanya sudah terlambat, Rud." Nada pasrah tak sengaja tersirat dari kalimatku.
Rudi menghadapku, "Mbak Naya ingat, pernah mengirimkan map ke apartemen Mas Satria dulu? Saya berharap Mbak buka map itu dan membacanya. Ada informasi penting di sana."
Aku ingat, map berlogo rumah sakit tertinggal yang lancang jika kubuka isinya. Aku ke apartemen Satria, tapi ia tidak ada. Sesudah itu, kami bertemu sekali lagi—pada malam di mana semua kesakitan ini bermula.
"Aku enggak pernah ingin tahu." Aku memalingkan wajah. Menutupi separuh pipi dengan rambut yang terurai panjang ke sisi kiri.
"Hari itu kami mendapat kabar baik dari rumah sakit. Ada donor kornea di Singapura untuk Mas Satria." Rudi mencoba menjelaskan. Aku berusaha tak peduli.
Masih kata Rudi, keadaan Satria prima kala itu. Tekanan bola mata normal, keadaan tenang, dan jaringan kornea bebas dari pelekatan dengan jaringan lain. Rudi bilang, saat itu Satria sangat semringah. Meski tidak mengatakan secara langsung, Satria tampak bahagia. Hanya saja, satu-satunya yang menjadi kecemasan Satria adalah keadaannya yang mungkin lama akan pulih dan tidak bisa pulang dengan segera. Rudi menjelaskan padaku pelan-pelan.
"Mas Satria ingin sekali memberi kejutan, tapi sayangnya ada masalah baru di matanya. Saat semuanya sudah teratasi dan kondusif, Mbak Naya enggak pernah muncul. Pergi entah ke mana. Bu Laras pun bungkam."
Aku mendesah napas pelan, amat pelan, hingga aku bingung sendiri maknanya. "Bukan aku yang pergi, tapi dia yang menghilang." Sanggahku. Mengingat masa lalu selalu berhasil menggali sisi emosi yang lain. "Dia enggak akan pernah tahu kesulitan apa yang aku hadapi selepas dia tidak pernah berkunjung lagi ke panti. Aku menderita, Rud." Ada cairan bening menghalangi penglihatan. "Dia enggak akan pernah paham rasanya."
Percuma aku tahu fakta sebenarnya tentang ke mana Satria empat tahun lalu, jika ia tidak bisa membelokkan yang saat ini terjadi. Mataku perih menahan air mata yang mendesak keluar. Aku bukan apa-apa baginya. Seorang Naya Tidak pantas diberi tahu apa pun.
"Saya minta maaf atas perbuatan Mas Satria yang melukai hati Mbak Naya."
"Bukan kamu yang harusnya meminta maaf. Semuanya sudah terjadi, kita tidak bisa mengulang waktu." Aku diam-diam menyeka butir air yang jatuh di pelupuk mata. "Saat ini, tolong kamu rahasiakan saja siapa aku. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama anakku."
Mata Rudi membelalak, hendak keluar. "Anak?" serunya seolah tidak percaya apa yang baru saja terlontar dari mulutku. Ini fakta besar yang ia dengar langsung. Sudah kuduga reaksinya akan begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Romance18+ Kanaya, gadis yang tinggal di panti asuhan itu harus mendapatkan akibat dari keluguannya. Ia hamil oleh Satria, seorang laki-laki buta, berkursi roda, dan depresi akut. Satria menghilang, menjadikan Kanaya orang tua tunggal yang membesarkan ana...