19. Break Up

1.6K 215 33
                                    

Setelah pertengkaran itu tidak ada lagi yang bersuara di antara keduanya baik Daniel maupun Jihoon hanya saling mendiamkan. Jihoon berlari memasuki kamar dan mengurung diri seharian. Tidak, ia tidak menangis. Tangannya bergetar karena emosi, giginya bergemeletuk seperti menggigil karena amarah yang meluap-luap, pikirannya kabur, ia sendiri juga tidak dapat menjelaskan perihal apa yang lebih mendominasi di benaknya. Hari ini adalah salah satu hari tersialnya. Jihoon sendiri bahkan tidak menyangka ia akan berteriak seperti tadi pada Daniel. Beberapa hari ini Jihoon hanya terus mencoba melupakan percakapan Jisung dan Daniel, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan tetap bersikap biasa saja meski sebenarnya ia tidak dapat mengelak bahwa hal itu sangat menyakitinya.

Jihoon pikir untuk apa lagi sepasang insan menjalin hubungan dan saling membagi cinta jika bukan untuk hidup bersama. Ternyata bukan hal itu yang ada di pikiran Daniel. Jihoon mencoba mengerti bahwa hubungan mereka memang masih seumur jagung. Tapi kenyataan yang lebih mengecewakan Jihoon adalah untuk apa mereka merencanakan tentang memiliki banyak anak jika tidak untuk membangun bahtera rumah tangga yang didasari pernikahan. Jihoon bahkan masih belum selesai dengan sejuta perasaan campur aduknya tentang Guanlin dan Daniel meledak-ledak seperti itu hanya karena ia bertemu dengan Guanlin. Maka jangan salahkan Jihoon jika ia ikut meledak setelah terus mencoba menahan semuanya.

Sedangkan Daniel langsung memasuki ruang kerjanya, duduk diam di singgasananya dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Daniel tau ia bersalah. Daniel hanya... entah lah, ia hanya merasa bahwa di seluruh alam semesta Guanlin menduduki peringkat pertama dari list orang yang patut diwaspadainya dalam hubungannya dengan Jihoon. Ia sungguh sangat tidak menyangka Jihoon mengetahui semuanya, Jihoon mendengar pembicaraannya dengan Jisung tempo hari. Lantas bagaimana bisa Daniel tidak menaruh curiga sedikitpun? Tentu saja, karena Jihoon sangat baik menutupinya. Pria manis kesayangannya itu bertingkah seperti biasa saja tanpa ada perubahan sedikitpun sejak saat itu. Apa mungkin Daniel tidak menyadarinya? Atau Daniel terlalu sibuk untuk berpikir optimis sehingga tidak menyadari perubahan di diri Jihoon? Jika dari skala 1 sampai 100, rasa bersalahnya terhadap Jihoon berada di angka 1000. Daniel malu untuk sekadar bertemu Jihoon karena seluruh kesalahannya. Tapi ia tidak ingin terus seperti ini. Hal yang paling dihindari Daniel di dunia ini adalah penyesalan, oleh karena itu sebelum menyesal ia akan menyelesaikan semuanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Daniel membuka pintu kamarnya perlahan. Mengintip sedikit ke dalam ruangan gelap itu mencari keberadaan Jihoon yang meringkuk di kasur seperti bayi. Perlahan Daniel menaiki kasur, mendekati tubuh mungil kekasihnya dan memeluk tubuh berisi itu dari belakang. Memberikan ciuman-ciuman kecil di tengkuk Jihoon yang terbuka. Jihoon bergerak sedikit dalam pelukan Daniel, merasa tidak nyaman dengan posisi mereka.

"Maafkan aku." Bisik Daniel tepat di telinga Jihoon sebelum memberikan kecupan lainnya di telinga yang tampak memerah itu.

Daniel tau Jihoon belum tidur. Ia terus menunggu balasan Jihoon hingga beberapa menit namun pria manis itu tetap bungkam. Perasaan bersalah itu menggerogoti hati Daniel semakin cepat dan menyakitkan. Ia membenamkan hidung mancungnya di surai kecoklatan Jihoon sambil memejamkan matanya menikmati rasa nyaman dan hangat tubuh Jihoon dalam pelukannya, menghirup aroma shampoo Jihoon yang sewangi bayi.

"Aku bersalah, maafkan aku." Sekali lagi Daniel berbisik sendu. Ia sudah siap jika kali ini pun ia akan tetap diabaikan Jihoon.

Beberapa menit berlalu. Daniel menghela nafas pelan sekali, berpikir mungkin ini bukan saat yang tepat untuk meminta maaf, Jihoon mungkin masih membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Aku lelah, tidur lah."

Senyum Daniel mengembang tanpa bisa ditahan di wajah tampannya. Jihoon akhirnya mau membuka mulutnya meski tidak ada kata yang menunjukkan bahwa pria mungil itu memaafkannya. Setidaknya Daniel sudah dapat tidur dengan tenang malam ini cukup dengan Jihoon yang mau berbicara dengannya. Untuk itu kecupan-kecupan manis kembali Daniel layangkan di kepala dan sepanjang tengkuk Jihoon.

De Onze | NielWink [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang