HIENZE - 18

47 10 0
                                    

Follow ig : asa_arija
Adeva POV

Langkahku dengan ringannya menuju panti asuhan itu, seperti biasa Barra dan teman temannya langsung menyambutku, hangat. Inilah kenapa aku selalu kesini setiap saat. Aku bisa merasakan sambutan hangat, yang sudah lama tidak pernah aku rasakan lagi.

Hari ini terik matahari menyengat luar biasa, tapi tidak menghentikan Barra dan teman temannya bermain di halaman rumah panti. Aku terus meyakinkan hati, bahwa tujuan aku kesini seperti biasa, tidak ada niat macam macam untuk menemui Kak Angkasa. Namun dalam hati kecil yang paling dalam, dan begitu juga mata yang tidak bisa dikondisikan, terus saja mencari keberadaan Kak Angkasa. Yang entah aku tidak tau cowok itu juga mempunyai rasa yang sama sepertiku atau enggak.

Ih, kenapa aku begitu bodoh?! Apa ini seribu kali pemberitahuan kalau tanda aku mulai menyukai Kak Angkasa?

Tapi Adena, juga menyukai Kak Angkasa. Bagaimana aku bisa menerima begitu saja rasa ini? Di satu sisi aku memikirkan perasaan Adena jika ia mengetahui isi hatiku ini.

Begitu aku mensejajarkan tinggiku dengan Barra dan teman temannya, untuk memberi oleh oleh snack seperti biasa. Kak Angkasa entah darimana datangnya, dengan memakai kacamata dan sebuah buku cerpen di tangan kirinya, memandanganku, dengan senyuman yang membuat jantung ini berdetak semakin cepat. Sedangkan aku yang ditatap sempat terpesona, tetapi sesegera mungkin mengalihkan pandangan ke arah lain.

Kemudian cowok itu menatap Rehan dan teman temannya. "Rehan, Barra ngapain sih kabur kabur segala? Kenapa selalu lupa sama abang, kalo ada Kak Adeva, sih?"

"Entar Abang gak akan cerita lagi deh, buat kalian."

"Iyakan, Kak Adeva cantik, jadi langsung disamperin deh." Rehan dan Bara langsung cekikikan melihat ekspresi Kak Angkasa yang melotot kesal dengan jawaban kedua anak kecil itu. Aku ikut tertawa melihat ekspresi itu, entah kenapa, lucu sekali.

"Hai," Sapanya, melepas kacamatanya.

"I-iya, kak." ucapku tergagap, canggung bertemu dengan Kak Angkasa. Tetapi aku menerima saja uluran tangannya, membantuku berdiri. Mungkin karena pandanganku masih tidak lepas dari buku yang dipegang Kak Satria, cowok itu langsung menawarkan diri mengajakku gabung. "Gabung yuk." Cengirnya.

Aku ikut menyengir, mengangguk. Mengikuti langkah mereka menuju gubuk kecil, yang lebih tepatnya di sebut gazebo di pinggir pelataran rumah. "Enggak nyangka ya, Kakak juga suka bacain dongeng."

Aku yang salah bicara langsung menunduk. Sedangkan Kak Angkasa hanya menyengir sekali lagi, menatapku. "Tapi, gue enggak cocok ya?"

"Bu-bukan sih kakak. Gak nyangka aja, pertama kali lihat kakak, wajah kakak selalu kaku banget, enggak care seperti ini. Aku cuman takjub aja. Hari gini masih ada yang peduli dengan anak anak kecil yang butuh kasih sayang sekitar."

"Gue baru kali ini, kok. Gue belajar dari seseorang, yang setiap saat selalu gue perhatiin, selalu terlihat bahagia melihat anak anak panti ini bahagia, meski dia menyimpan banyak kesedihan di dalam topeng senyumnya itu." Kak Angkasa menatap langit yang saat ini cerah, mendukung untuk anak anak panti ini sekaligus aku dan Kak Angkasa menghabiskan waktu di luar ruangan. "Lalu gue melihat mama gue, yang ikhlas dengan membantu setiap hari di panti ini."

"Tapi untuk usia kakak, jarang banget lho."

"Bukannya masih ada? Lo juga kan?. Gue pertama kali takjub liat lo yang entah demi apa setiap waktu nyempetin ngebahagiain mereka. Gue belajar dari lo, Dev. Meski lo banyak menyimpan kesedihan, lo masih sempat membagi kebahagiaan itu."

Aku yang masih menunduk, merasa senang bukan main. Bukan karena pujian itu, tapi karena ada seseorang, setidaknya ada orang yang mulai terketuk hatinya untuk memulai melakukan kebaikan.

Apalagi ucapan lanjutan Kak Satria sambil menatapku dalam dalam, membuatku tidak bisa berkata kata lagi. Baru kali ini aku melihat tatapan teduh itu yang ditunjukan padaku. Rasanya nyaman sekali, hangat, dan aku rasa aku ingin terus ditatapnya seperti ini. Selamanya.

"Gue tau, tau sekali lo sedih. Maka dari itu, lo bisa cerita ke gue, Dev. Lo bisa berbagi sama gue. Gue juga ingin bantu lo." yakin Kak Angkasa, masih sambil menatapku dalam dan serius. Membuatku bersusah payah bernafas, dan meneguk kembali salivaku. Rasanya aku ingin menumpahkan kesedihanku sekarang juga. Tapi rasanya tidak pantas. Rasanya aneh jika aku melakukan itu.

"Kak Adevaaa... Bang Angkasa..." panggil Barra setengah berteriak. Bocah kecil itu yang sudah berdiri di gazebo, terlihat kesal. Mungkin karena aku dan Kak Angkasa tidak segera tiba dan melanjutkan ceritanya yang katanya sempat terpotong tadi.

Aku dan Kak Angkasa tertawa begitu melihat wajah kesal Barra dan Rehan dari dekat, kedua anak itu dan 5 anak sebayanya, menghampiri kami.

Kemudian mereka menarik tangaku dan Kak Angkasa bersamaan. Seketika aku memergoki Kak Angkasa yang tersenyum, dengan tatapan yang tidak lepas dariku. Secepatnya, begitu aku membalas tatapannya itu, Kak Angkasa membuang mukanya. Suasana canggung sesaat.

Aku pun ikut juga mempercepat langkah, dan kemudian entah kenapa aku mendapatkan duduk tepat di sebelah Kak Angkasa. Senang, perasaan yang masih belum aku akui ini muncul, dan seketika ucapan Adena tentang dia menyukai Kak Angkasa tercampur menjadi satu dalam pikiranku. Hingga aku pun tidak fokus mendengarkan kisah cerita yang dibawakan Kak Angkasa hingga habis.

"Eh, ngomong ngomong lo alumni sekolah National High? Kok gue baru tau lo ya? lo kelas berapa sih?" tanya Kak Angkasa sambil berjalan mendekati gedung, sedangkan anak anak lain saat ini sibuk bermain kejar kejaran. Mungkin Kak Angkasa menyadari seragam yang masih aku pakai hingga saat ini. karena aku belum sempat pulang dan ganti baju.

"I-iya, kak. Kelas 12." ucapku terbata, aku jadi menyesali kenapa aku tidak ganti baju dulu sepulang urusan tanda tangan SKUHN Sementara tadi? Kan gini aku jadi bingung, takut kalo Kak Angkasa akan menyadari bahwa Adena itu kembaranku. Akan hancur semuanya.

"Kok gue enggak kenal lo? seharusnya kan gue kenal lo, soalnya gue juga alumni sana, baru lulus tahun kemarin."

"A-anu, kak. Aku anaknya pendiem, jadi gak banyak bergaul."

"Pendiem, apa pendiem?" goda Kak Angkasa, menatap wajahku yang sendari tertunduk.

"Ih, kak."

"Gue bukan kakak, lo, Dev. Panggil gue Angkasa atau Satria aja, ya?" pinta Kak Angkasa dengan tatapan memohon. Ini sudah kedua kalinya aku disuruh untuk tidak memanggilnya dengan embel embel kakak. Dan apa aku bisa aku menolak lagi?

"Tapi, kak?!"

"Kan gue yang mau, Dev." Lucu sekali jika Kak Angkasa mengerlingkan mata genit padaku. Rasanya bukan Kak Angkasa yang aku kenal 2 bulan yang lalu.

"Iya, udah, biar Aksa bahagia." Ucapku, mengembangkan senyum lebar seringan mungkin.

"Kok Aksa?"

"Iya, aku singkat. Aku bolehkan panggil gitu?" aku menyengir.

"Iya, udah, asal Adeva suka." Kekehnya mulai terdengar. Hingga air mukanya terlihat senang sekali.

"Ternyata selain pendiam, cerewet, lo ngeselin juga ya?!" ucapnya kemudian sambil manggut manggut, dan tersenyum menggoda. Aku membulatkan mata menatap Kak Angkasa yang menyengir menatapku. "Kan emang bener, kan?"

"Enggak kokk, enak aja!" belaku kesal, hingga kelepasan sewot pada cowok ngeselin itu. Tapi anehnya, Kak Angkasa malah tertawa setelah itu.

"Muka lo, gemesin tau gak kalo sewot kaya gitu." Seketika raut wajahku memanas, aku tau saat ini semburat merah, karena salah tingkah mendominasi wajahku. Ah, sial!!

***  
Vite coment dan share yaaaa...

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang