HIENZE - 47

33 6 0
                                    


Adena POV

Gue berdiri, membuka jendela kamar, membiarkan udara malam masuk ke dalam kamar ini. Sebenarnya semenjak gue meninggalkan rumah, gue khawatir dengan keadaan mama saat ini. Maksud gue mama Emila. Gue merasa bersalah dengan memberikan buku diary itu pada papa. Gue sama saja membongkar semua kejadian dulu. Tahun 2000. Dari persefektif mama Salma.

Pasti papa kecewa dan marah besar setelah membaca itu. Tapi gue bisa apa? kalau gue tidak memberikan buku itu, gue dan Adeva yang akan jadi samsak kekesalan papa.

Tangan gue pun rasanya gatal untuk menelepon Kak Nurul, hanya sekedar mendengar kabar mama. Gue pun memasang SIM CARD, segera menelepon Kak Nurul di tengah malam ini.

"Halo, Kak."

[Astagfirullah. Assalamualaikum, Den. Kamu kemana aja? Sekarang dimana? Kita semua khawatirin kamu?] cecar Kak Nurul begitu saja. Gue hanya diam sampai Kak Nurul berhenti bertanya hal yang tidak penting itu. Yang lebih penting sekarang, gue ingin mendengar kabar mama Emila.

"Mama baik – baik aja, kan, kak?"

[Iya, mama baik – baik aja. Kamu cepet balik!! Semua disini kangen sama kamu. Sumpah gila, ya kamu, Den. Kakak di rumah bingung sebenarnya ada apa! Hubungan papa sama mama keliatan merenggang, Den. Kakak Bingung disini.]

Gue menelan ludah kasar, bingung harus menjawab apa. [Den, kakak ingin mendengar cerita dari kamu. Dengerin cerita Adeva gak ada jawaban kenapa mama dan papa jadi berubah kaya gini.]

"Yaudah kak, udah dulu." Aku segera memutuskan sambungan telepon. Melepas kembali SIM CARD. Kemudian menghela nafas, rasanya gue masih tidak tenang jika tidak mendengar dari mama Emila sendiri.

***

Adeva POV

Subuh ini, aku sudah siap. Kak Angkasa juga sudah duduk di ruang tamu menungguku. Aku mengatur nafas sekali lagi, menyiapkan diri untuk menghadapi kecangguhan bersama Kak Angkasa di dalam mobil selama beberapa jam lamanya.

Mama tidak jadi pergi, karena harus menjaga papa yang tadi malam tiba – tiba sakit. Dan Kak Nurul tiba – tiba ada jam shif siang dadakan, menggantikan dokter senior di rumah sakit tempatnya bekerja.

Mobil Kak Angkasa melaju dengan kecepatan sedang. Suasana masih hening, sebelum Kak Angkasa membuka suara. Menawariku jaket. "Dev, kamu pakai jaketku, nih. Biar hangat,"

Aku menatap Kak Angkasa, antara enggak dan iya untuk mengambil jaket jeans itu. Tapi karena aku saat ini sedikit kedinginan, aku mengambil jaket itu ragu – ragu. Dan kemudian aku melihat senyum kecil Kak Angkasa terbit dari wajahnya.

Adena POV

"Zee, gue harus pergi sekarang." Setelah memasak nasi goreng untuk sarapan, gue duduk di hadapan Zee. Mungkin lebih tepatnya ini tidak disebut sarapan, karena pukul 09.00.

Hanya gue dan Zee di meja makan ini. Tante Rita sudah pergi dari subuh tadi, tidak sempat makan bersama kita. Memandang Zee yang lahap memakan nasi goreng buatan gue, membuat gue reflek menarik kedua sudut bibir gue. Rasanya gue seperti nostalgia, mengenang kedekatan gue dan Zee dulu.

"Lah, katanya kita kan mau jalan – jalan." Zee mengangkat kepalanya, menghentikan aktivitasnya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut. Kemudian menatap gue penuh kerutan di dahinya.

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang