HIENZE - 26

36 8 3
                                    

Adena POV

Ah, terlalu klise kalau gue sering salah tingkah dengan kelakuan Zee yang seperti itu. Kaya gak tau mulut Zee aja, kan emang suka manis kalo ngomong. Kali ini setelah makan dan ngombrol pintar dengan Zee dan ditemani Sashi, gue pun akhirnya menyuruh Sashi membawa mobil gue ketika dia pamit pulang duluan. Katanya sih, dia gak pengen jadi obat nyamuk antara gue dan Zee.

Tapi kan, gue gak ada apa apa sama cowok jangkung beralis tebal itu.

Karena itu, gue pulang diantar Zee. Cowok itu kini diam, tidak membuka suara ketika motornya melaju. Aneh rasanya jika dia diam seperti ini, biasanya dia kan yang cerewet bercerita ini itu, menggombal, melucu, atau apapun.

Tapi, ketika motor Zee berhenti di lampu merah, gue membuka obrolan karena tidak kuat dengan keheningan yang terlalu mencengkam ini.

"Katanya lo putus sama Aurel? Kenapa?"

Tangan gue yang sendari tadi memegang kedua sisi jaket cowok itu, saat ini di tarik agar memeluk pinggangnya. Zee sempat memejamkan mata sebelum lampu lalu lintas berubah hijau.

"Iya, gue putus sama Aurel. Gue gak suka aja sama dia," jawabnya, sambil melajukan motornya kembali. Dan kurang satu tikungan lagi, motor sudah tiba di depan gerbang rumah.

"Gue cuman suka sama lo, Den." Gue menghentikan aktivitas melepas helm. Ungkapan Zee benar benar membuat gue terkejut menatap cowok itu yang kini balas menatap gue dalam, dan teduh.

Kemudian Zee meraih kedua tangan gue lembut, dan digenggamnya erat erat, seolah dia tidak ingin melepas gue dari pandangannya maupun hatinya. Tatapannya masih sama, dalam dan teduh. Tatapan yang dulu sering gue lihat, dan yang selalu membuat hati ini luluh, tidak tega.

"Gue udah gak tahan dengan sandiwara ini. Sandiwara yang gue buat sendiri, seolah gue gak butuhin lo lagi. Gue Cuma sayang lo, Den. Gak ada cewek yang mengisi hati gue lagi, setelah kehadiran lo."

"Beberapa bulan ini, gue emang punya pacar, deket banyak cewek. Tapi hati gue, suka mengelak kalo pikiran gue ingin menjauh dari lo," ungkap Zee, setelah tertahan beberapa lamanya. "gue gak bisa jauh dari lo, Den. Gue sayang banget sama lo."

Ungkapan isi hati Zee yang tulus itu berhasil membungkam mulut gue sambil menatapnya prihatin. Cowok itu benar benar terlihat menderita saat ini. Seolah wajah bahagia yang gue lihat, sudah dilepasnya paksa.

Lantas, gue memeluknya erat, sangat erat. "Lo pasti udah tau kan jawaban gue, dari berita tentang gue dan Satria di sekolah?"

Kejadian tadi sangat cepat sekali, Zee langsung melepaskan pelukan gue, lalu mengayunkan kaki panjangnya menuju motornya.

"Zee, maafin gue," lirih gue memanggilnya. Tapi, Zee pura pura tidak mendengar, cowok itu memakai helm, segera pergi dengan motornya. Meninggalkan asap tipis.

"Zee," gue mendesis, meraup wajah. Frustasi.

Rasanya sakit sekali, hati gue teriris melihat sikap Zee seperti ini.

Kalau gue boleh memilih, lebih baik gue tadi pulang bareng Sashi. Gue menjauh saja dari Zee. Agar gue tidak sesedih ini, merasa bersalah seperti ini.

Ah, sial!!! Kenapa lo selalu muncul, sih!

***

Adeva POV

Aku tersenyum, memandang takjub dari jauh, pucuk bangunan Monas yang menjulang tinggi. Bangunan favoritku dari masih kecil dulu, sampai sekarang. Aku, Adena, dan mama pasti akan kesini jika liburan sekolah. Tapi aku bersyukur, setidaknya setelah pindah ke Bandung, aku sempat datang ke bangunan landmark Jakarta, kota kelahiranku.

"Seneng deh, gue lihat lo senyum lagi," ungkap Kak Angkasa dengan pandangan tidak lepas dariku. Membuatku menoleh, menatapnya dengan wajah yang memerah, salah tingkah.

"Maafin aku, Ak. Aku bicara panjang lebar ke kamu, curhat apapun sama kamu." ucapku meminta maaf, masih tidak enak tentang kejadian tadi di makam.

"Gue seneng, kok. Berarti, gue ini orang istimewa kan?" cengir Kak Angkasa, menatap lurus jalanan di depannya. Seketika, aku dibuatnya terperanggah melihat ketampanan Kak Angkasa dari samping. Rahang tegasnya, senyumannya, membuatku kesulitan meneguk lidah.

"Gue siap kok, dengerin cerita lo lagi. 24 jam non stops!!!"

"Gantian dong. Sekarang kamu yang cerita."

"Jadi pingin dianggap istimewa nih?" Kak Angkasa menyenggol bahuku, sambil tersenyum kecil.

Gemas, karena Kak Angkasa sendari tadi selallu membuatku salah tingkah beberapa kali, aku pun memukul lengannya pelan sambil tersenyum malu malu, "Ih, ngapain juga?"

"Jadi, lo ingin gue dongengin apa?" Kak Angkasa menaik turunkan alisnya. Lagi lagi Kak Angkasa membuatku yang melihatnya gemas sendiri.

"Kok dongeng sih?" kedua alisku mengkerut.

"Iya, iya. Gue cerita, ya." Kak Angkasa meredam tawanya, suaranya terdengar mulai serius. Begitu juga tatapannya serius menatap ke arahku.

"Dulu, gue punya---" Aku yang sudah siap mendengarnya, ikut menatapnya serius dan penasaran. "Kucing lalu dia naik pohon, jatuh dan mati deh," lanjutnya cepat sekali. Tanpa aku duga, Kak Angkasa tertawa menatapku.

"Serius banget dengerinnya."

"Ih, Kamu." Reflek, karena kesal sekali dengan sikap Kak Angkasa yang menyebalkan, aku memukul lengannya lagi. Cowok itu bukannya diam, tapi tertawa semakin keras. Dan kemudian, getaran dan deringan ponselku membuat tawa Kak Angkasa perlahan mengecil, dan akhirnya ia menatapku ketika aku menjawab panggilan dari Juna, teman sekelasku.

"Iya, ada apa, Jun."

[Aku Cuma kangen aja, sama kamu. Biasanya setiap hari ketemu, sekarang enggak pernah. Waktu ke sekolah juga, aku enggak ketemu sama kamu lagi.]

Aku diam, sudah biasa mendengar ucapan Juna yang manis manis. "Aku ingin ajak kamu jalan jalan, mau kan? Siap siap ya sekarang."

"Gimana kalau besok? Aku lagi keluar sama temenku." Dan ketika aku mengucapkan itu dalam telepon, seketika aku mengangkap wajah badmood dari Kak Angkasa. Cepat cepat cowok itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

*** 

Haii haii 

Yuk vote komen, dan bagikan ke teman teman kalian yaa....

Selamat menunaikan ibadah puasaaa..

18 Mei 2019

Swipe up

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang