HIENZE - 43

34 8 0
                                    

Tanpa sadar, kaki ini sudah membawa gue di depan rumah. Mobil Satria yang hitam mengkilap sudah tidak ada. Hanya ada mobil merah milik gue, dan silver milik papa.

Gue menunduk begitu sudah di ruang tamu yang tampak sepi sekarang. Hanya ada papa dengan raut wajah kesal menatap ke arah gue sekarang. "Adena!!" panggil papa dengan nada tinggi membuat gue lantas berhenti, menoleh ke sumber suara.

Suasana ruang tamu menjadi menengangkan.

"Papa mau tanya, kapan kalian pengumuman SNPTN?" Suaranya yang meninggi gue abaikan untuk hari ini saja. Gue terima. Gue memang tidak mau terlibat pertengkaran, yang hanya menambah sakit kepala saja!

"Gak tau," balas gue, apatis, sambil mengangkat bahu.

"Gak tau?" Papa melotot ke arah gue, kedua tangannya sudah berkacak pinggang. Ekpresi marahnya terlihat jelas sekali. "Kamu itu niat sekolah atau enggak?! atau kamu bohongi papa, hah?"

Bersamaan itu suara derap kaki menuruni tangga terdengar. Gue dan papa langsung menangkap Adeva yang sedang menuruni tangga, dengan ekspresi khawatir.

"Adeva," panggil papa beralih bertanya ke pada Adeva, "kapan pengumuman SNPTN-nya?"

Gue lihat Adeva menunduk, tidak berani menatap mata papa. Kemudian menggeleng.

"Papa tanya sekali lagi!!! Kapan kalian tau pengumuman SNPTN?!!"

"Jangan bohongin papa kalian!! Papa tau kalian udah pengumuman SNPTN, kan?!!!"

"JAWAB!!!" sentaknya, membuat kepala Adeva semakin menunduk. Sedangkan gue menghela nafas, malas.

Hening, kemudian Adeva menjawab dengan suara bergetar. Lantas gue melotot mendengar pengakuan Adeva. "Udah 2 minggu yang lalu, pa. Maafin Adeva, pa. Adeva udah bohong sama papa. Karena Adeva takut papa marah karena Adeva tidak lolos SNPTN."

"Adeva janji, kok pa, Adeva bakal belajar lebih giat lagi buat masuk jurusan kedokteran."

"Dev, Ikuti kata hati lo!" ucap gue tegas. Dan kesal dengan Adeva yang tidak sadar juga dengan apa yang dia perbuat.

"AAPA?!!!" Papa yang terkejut bukan main. Suaranya meninggi. Wajahnya pun memerah. "Kamu tidak lolos? Kamu itu niat belajar gak?"

"Adeva udah belajar yang giat ko—"

"Berhenti mendikte kita, pa!! kita udah gedhe!! Udah bisa menentukan mana yang baik dan buruk!! Papa gak berhak mendikte keinginan kita!"

"DIAM, KAMU ADENA!!!" sarkas papa, beralih menatap gue marah. "APA KAMU JUGA SAMA TIDAK DITERIMA?!!"

"Saya diterima!" jawab gue, tegas. Menatap pupil mata papa tanpa rasa takut. "Saya diterima jurusan Sastra. Jurusan yang saya inginkan. Bukan jurusan yang papa inginkan itu."

Detik itu juga, tamparan keras papa mendarat di pipi sebelah kanan gue. Membuat nafas gue memburu, menatap papa penuh kebencian.

"Dasar gak tau diuntung!!" sarkas papa.

"PAPA ITU ENGGAK PERNAH NGERTIIN KITA! Papa lihat, Adeva jadi korban ketidakadilan papa di sini. Keegoisan papa!!" Tatapan gue semakin nyalang menatap pupil mata hitam papa. Tatapan benci yang saat ini terlihat. Dan membuat nafas gue memburu. "Adeva tidak lolos karena papa. Karena papa yang selalu menuntut kita!! Karena papa yang tidak membiarkan kita untuk memilih keinginan kita!! Karena papa egois!!"

"Kenapa papa enggak pernah ngerti?"

"Kita udah bukan anak 6 tahun yang selalu didikte orang tuanya untuk memilih baju hari raya. Kita udah 17 tahun!!"

"Bahkan, papa juga enggak pernah ngerti perasaan mama. 16 tahun papa meninggalkan mama. Mama banting tulang sendiri buat merawat kita, papa mana? PAPA ENGGAK TANGGUNG JAWAB!! PAPA JAHAT TINGGALIN KITA!!" Gue meluapkan apa yang gue pendam selama ini. Sedangkan  papa  menatap gue tenang. Tapi gue tau itu, tatapan tenang papa menghanyutkan.

"Saya kira bertemu papa, dan punya papa itu enak. Tapi apa? papa merusak ekpetasi saya dari kecil. PAPA ENGGAK PERNAH PEDULI SAMA KITA DARI KECIL!!!"

"Berhenti, Den. Berhenti nyalahin papa!!" Adeva tiba – tiba berada di antara gue dan papa. Bukannya membela gue, tapi Adeva membela papa. Kemudian Adeva meraih tangan gue, yang segera gue tepis kasar.

"Kalian itu harus bersyukur, saya masih mau menampung kalian di sini!!!" Jari telunjuk papa tepat berada di depan wajah gue. Otot – otot tangannya nampak timbul, begitu juga otot di daerah lehernya. Papa benar – benar marah saat ini.

"Kalian itu cuman numpang di rumah ini!!! Apa salahnya saya meminta kalian untuk membayar kehidupan gratis yang saya berikan sama kalian! Hah?!"

"Enak aja. Saya punya hak tinggal disini. Saya tidak perlu balas budi apapun kepada siapapun. Karena papa itu papa kandung saya! Bukan orang lain," balas gue tidak terima.

"Dan lo, Adeva!" Kali ini gue menatap Adeva kesal, "lo itu seharusnya belain gue, bukan belain papa!!"

"Apa salahnya gue belain papa kandung gue sendiri, Den? Gue sayang papa, gue gak mau buat papa sedih. Sekarang gue pingin berbakti sama papa. Karena hanya papa, orang tua kandung yang gue punya sekarang. Dan seharusnya lo balas budi dengan apa yang sudah papa berikan selama ini."

"Berbakti sih berbakti!! Tapi juga gak usah kelewatan seperti ini!! Lo harus sadar Dev, lo ini pura – pura buta atau emang buta. Papa gak pernah mikirin lo!! Papa benci sama kita dari pertama kali kita disini!! Papa gak pernah ngertiin kita!!"

"Gue cuma gak mau kehilangan orang tua lagi, Dev." Seketika gue dibungkam dengan kata – kata Adeva. Tangan gue mengepal kuat, menatap Adeva. Ada rasa amarah yang lama tak tertahankan dari dulu. "Kita gak punya tempat untuk pulang, Den. Kecuali papa."

"Iya, hanya saya yang mau menampung kalian!! Kalian sekarang itu sudah sebatang kara! Beruntung kalian mau saya tampung, meski saya terpaksa hanya demi istri saya!!" sahut papa. "Maka dari itu, kalian harus nurut sama saya!!"

"Iya, itu juga karena lo, Dev!! Karena lo udah buat gue kehilangan mama!! Buat gue menderita harus bertemu papa!!" Nafas gue memburu. Adeva menunduk, air matanya sudah menetes membasahi pipinya.

"Mungkin kalau mama masih ada, saya gak akan pernah bertemu orang seperti anda! Orang gak punya hati!!"

"KURANG AJAR!!!" Papa menampar gue lagi. Tamparan yang sama sakitnya dengan tamparan tadi. "DASAR ANAK GAK TAU DIUNTUNG!!! ANAK HARAM!!"

"Mama kamu itu brengsek gak tau diri. Mama kamu itu murahan!!! GAK TAU DIRI!!! YA SEPERTI KAMU, TIDAK JAUH BEDA!!"

Mendengar itu, tubuh gue langsung melemas. Binar amarah di mata gue perlahan meredup. Seperti tidak ada semangat lagi dalam tubuh gue, mendengar kebencian papa terhadap gue. Anak kandungnya sendiri.

"PERGI KAMU SEKARANG JUGA!!!" Papa yang masih menatap gue penuh amarah, tangannya menunjuk pintu. Menyuruh gue segera angkat kaki dari rumah ini.

"OKE!! kalau itu mau papa, saya akan pergi! Tapi saya pastikan papa akan menyesali semuanya!!" Gue mengangkat dagu. Menatap papa dengan penyesalan. "Kebenaran pasti akan terungkap!"

Gue pergi ke kamar membereskan semua pakaian gue. Baru menaiki 2 anak tangga, gue melihat wajah tercengang, khawatir dari mama.

***

Adeva POV

Aku terduduk, tidak menyangka papa bisa mengusir Adena. Yang lebih mencengangkan lagi perkataan papa tentang aku dan Adena anak haram yang membuat ku tidak bisa berkata – kata lagi. Bahkan untuk membuka mulut saja, bibirku bergetar.

Mama Emila tercengang dengan kejadian yang dia tonton. Dan saat ini mama memohon – mohon pada papa dengan uraian air tangis mama. Tapi papa sama sekali tidak peduli.

*** 
20 Juni 2019
Follow IG : asa_arija

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang