HIENZE - 28

30 8 0
                                    

"Kucing siapa ini di masukin rumah?!" tanya gue dengan nada tinggi, dan allis mengkerut. Sekali lagi, gue merasa kesusahan hanya untuk menghirup udara seperti biasa.

Hushhh.. hush...

Kaki gue sudah menjejakkan di atas sofa, menunduk, dan mengusir kucing. Namun percuma, kucing itu masih diam sambil menatap gue tidak bersalah.

"Adena!!! Turun kamu!! Apa apaan sih kamu itu?!!" mendengar suara menggelegar itu, lantas gue menoleh ke sumber suara. Papa sudah berkacak pinggang, tatapannya menyalang, penuh amarah.

"Enggak akan. Sebelum tuh kucing dibuang dari rumah ini jauh jauh," seketika suara gue mengecil, bahu gue merosot dan gue menjongkong di atas sofa melihat tatapan itu. Gue masih belum berani turun dari sofa, karena kucing itu masih berkeliaran di sekitar.

"Apa kamu enggak di ajari tata krama sama mama kamu, hah?! Turun dari sofa, sekarang!!" emosi papa semakin tidak terkontrol, wajahnya juga sekarang memerah. "Papa enggak suka kalau kamu gak punya tata krama seperti ini!"

"Ta-tapi, Pa," keluh gue, sambil menurunkan kedua kaki dari atas sofa. Entah kenapa, gue sangat ketakutan melihat wajah Papa dengan emosinya yang semakin meluap luap.

"Saya alergi kucing!! Kenapa sih papa enggak pernah mengerti saya sedikit pun?"

"Ini cuman hal sepele, kenapa kamu marah marah gini, Mas?" Mama Emila yang sendari tadi memncoba menenangkan papa, sepertinya putus asa, "jangan lampiaskan kekesalan kamu sama Adena. Ini cuman hal sepele, Mas."

"Adena enggak salah, Mas."

"Udahlah, kamu jangan membela anak itu. Dia itu cuman penumpang!! Anak haram!!! Anak yang enggak diharapkan!" wajah papa semakin memerah, menunjuk nunjuk gue. Tatapan seperti biasanya, tatapan benci yang selalu diperlihatkan ketika sudah marah seperti ini.

Jawaban Papa seketika membuat gue melototkan mata tidak percaya dengan ucapannya itu. Kemudian, dada gue terasa berdetak cepat, terasa sesak. Dan rasa sakit menjalar dalam hati, membuat darah gue mendidih, emosi gue semakin memuncak. Kedua tangan gue yang menggantung santai di samping, seketika mengepal kuat. Mama Emila aja juga ikut terkejut mendengar penuturan dari Papa.

Tapi gue tahan tahan, gue tidak ingin keluar dari rumah ini. Meski gue tahu gue tidak pernah diharapkan disini.

"Aku ini anak papa," suara gue bergetar. Terdengar pilu.

Secepatnya, gue mengambil high hell yang memang gue bawa dari kamar, dan pergi keluar rumah.

Sempat gue menatap Mama Emila dengan penuh harapan besar. Tapi Mama Emila hanya menatap gue, dengan tatapan meminta maaf. Matanya sayu, dan menunduk. Secepatnya gue tau bagaimana arti tatapan itu, gue pun segera mempercepat keluar rumah.

Gue terus berjalan keluar gerbang, menjejaki trotoar, menjauh dari rumah dengan pikiran berkecambuk tentang ucapan Papa tadi. Dan kemudian, rasanya kesepian sekali, sendirian sepanjang jalan. Gue ingin melabuhkan pikiran gue, hati gue ke seseorang yang benar benar ikhlas memberikan sandaran, memberikan tempat untuk gue.

Sesaat itu juga, gue jadi teringat Satria. Bukan berarti gue tau kalau Satria itu cowok yang ikhlas memberi gue sandaran, dan memberi gue tempat. Gue hanya ingat saja cowok itu. Namun, gue gak pernah tau dimana rumahnya. Pesan gue sendari tadi juga tidak dibalasnya. Ini juga langit mulai petang, tanda hujan akan datang. Gue putuskan menunggu Satria di halte dekat café milik orang tua Sashi. Tempat kesepakatan kita tadi pagi, untuk pergi ke pesta.

Dan benar, langit mendung tadi serentak meneteskan air hujan. Semakin lama semakin besar. Gue cuman bisa memandang kosong ribuan tetesan hujan yang jatuh itu. Melihat air hujan itu, gue jadi berpikir. Apa ada orang seperti hujan, yang sudah jatuh berapa kali, tetapi masih mengulanginya lagi?

Semakin lama, udara di sekeliling gue semakin dingin. Air hujan masih deras turun ke permukaan bumi. Ini sudah 2 jam sejak gerimis tadi sore, hingga langit semakin petang. Gue menggosok kedua telapak tangan, kemudian beralih menggosong lengan, udara saat ini semakin dingin. Tiba tiba motor yang sempat gue perhatikan tadi, melipir ke halte bus tempat gue berteduh saat ini. Seketika gue bersyukur, ada orang yang bernasib sama seperti gue, terjebak hujan. Namun, gue jadi tambah bete' melihat seseorang yang naik motor tadi adalah sepasang kekasih. Mereka bermesraan, mentransfer kehangatan lewat tawa mereka sambil menunggu hujan reda.

Lantas gue memalingkan wajah ke arah lain, memandangan kosong ke arah depan. Sesaat kemudian, air hujan semakin mereda. Sepasang kekasih sialan itu kembali menaiki motor mereka, meninggalkan gue sendirian. Gue bersyukur sih, dari pada gue harus memperhatikan mereka membuat gue semakin bete aja. 

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang