HIENZE - 40

31 7 0
                                    

Adeva POV

Aku segera masuk ke kamar. Membanting tubuhku di atas kasur. Kemudian mengubur dalam - dalam kepalaku di bawah bantal, guling dan selimut. Berharap rasa yang hinggap di hatiku ini, ikut juga terkubur ke dasar hati yang paling dalam. Hingga jika di gali pun, tidak akan pernah ditemukan.

Aku tidak sedih! yakinku dalam hati. Aku senang bisa melihat Adena dengan cowok yang disukainya. Hanya itu, enggak lebih. Tapi kenapa aku menangis, dengan perasaan hati seperti teriris iris begini? Sakit sekali!

Ini memang kesalahanku, aku sadar. Seharusnya memang aku tidak membiarkan ini terlalu dalam, meski aku tau aku akan merasakan perasaan ini. Akhir kisah yang menyedihkan.

Aku semakin menutup mataku, berusaha agar terlelap, berharap pikiran untuk beristirahat. Namun dering ponsel, menggagalkan semuanya. Dengan malas aku bangun, menyambar ponseku di sebelah lampu tidur. Ada nama Ruri yang tercetak jelas di layar ponsel.

"Kenapa Rur?" ucapku kemudian setelah menggeser tombol terima. Suaraku terdengar berat.

[Eh, lo kenapa?]

"Enggak kenapa - kenapa."

[Dev.]

Suara Ruri menciut. [Lo menjauh dari Kak Satria-maksudku Kak Angkasa?]

Hening sesaat, Ruri kembali membuka suara. [Kak Angkasa kemarin ke rumah gue. Katanya 4 hari lo enggak pernah bales smsnya. Lo beneran menjauh dari Kak Sat-Kak Angkasa?]

Aku mengangguk, kemudian sadar bahwa Ruri tidak bisa melihatnya, aku pun berucap, mengiyai.

[Dia sampe cari rumah gue, minta tolong buat ngomong sama lo. Tapi gue tolak, Dev.]

Aku berdeham.

[Gue gak mau aja ikut campur. Gue tau lo punya alasan tersendiri untuk itu.]

[Kok lo diem aja, sih? Apa jangan - jangan lo enggak dengerin gue?] Suara Ruri terdengar kesal.

"Iya, aku dengerin Rur,"

[Jadi lo beneran jauhin Kak Angkasa, karena ... ]

"Iya, Rur. Aku harus jauhin dia. Aku gak mau Adena sedih kalau tahu hubunganku ini. Apalagi, seminggu yang lalu, Kak Angkasa bilang suka sama aku, Rur."

[SUMPAH DEMI APA LO, DEV!! KENAPA LO ENGGAK BILANG GUE?!]

Reflek aku menjulingkan mata. Menjauhkan ponsel dari telingaku yang saat ini pengang karena suara cetar Ruri.

[Gue otw ke rumah lo]

"Eh, ngapain?"

[Lo harus cerita sedetail - detailnya sama gue, Dev.]

"Iya - iya. Yauda-" jawabku terputus. Ruri sudah mematikan ponselnya, sebelum aku selesai bicara.

***

"Dev, kamu gak mau nemenin kakak nonton, nih?" Kak Nurul berdiri. Menoleh ke arah TV, kemudian menatapku yang sedang duduk di meja makan, dengan pandangan fokus ke ponsel.

"Kamu punya film drakor apa lagi? kita nonton sama - sama, yuk," cengir Kak Nurul, yang sudah mendekatiku. Kemudian menarik tanganku menuju ruang tengah.

"Kita nonton Secertary Kim aja, kak."

"Nonton School 2017 aja, dulu, Dev."

"Kalau School 2017, kakak nonton sendiri aja." Aku bangkit, sambil menahan senyum. Belum saja aku melangkah pergi, Kak Nurul sudah menahan tanganku, mencegahku pergi.

Betulkan dugaanku, Kak Nurul akan mengalah juga. Hehehehe...

Baru saja film terputar, suara derakan pintu rumah terdengar. Lantas aku menoleh, melihat Adena dengan wajah lesu dan balutan seragam sekolah baru saja datang.

"Udah mau lulus, masih aja ke sekolah, ya," ujar Kak Nurul, dagunya diletakkan di sandaran sofa, ikut menatap kehadiran Adena yang masih berdiri di depan pintu.

"Namanya aja murid teladan," jawab Adena jutek.

"Yee.. teladan dari mana lo? Lo aja durhaka sama kakak sendiri, pulang gak bawain pempek."

Aku yang mendengar hanya tersenyum kecut. Sudah biasa mendengarnya. Adena dan Kak Nurul memang sudah biasa berbicara seperti itu, mereka hanya becanda.

"Nanti beli, yuk, Kak?" Adena mendekati meja makan, meletakkan ponsel dan tote bag di atas meja.

"Nanti aku shif malam."

"Yaudah aku ikut kakak aja. Tidur di rumah sakit. Sekalian uji nyali."

"Beneran mau ikut?"

"Gak masalah. Pokoknya di traktir."

"Iya, gak masalah. Aku juga sendirian shif malamnya." Kak Nurul kemudian menatapku. "Kamu mau ikut juga, Dev?"

"Enggak kak," tolakku lembut. Kemudian aku membenarkan posisi duduk hingga nyaman untuk melanjutkan kembali menonton film di Tv.

"Entar mampir dulu ke supermarket, beliin coklat."

Tak lama memfokuskan pandangan ke layar TV, aku mendengar dering ponselku. Secepatnya aku menoleh, kelabakan mencari ponsel yang tidak ada di sekitarku. Kak Nurul saja hingga memperhatikanku, sambil matanya menjelajah. Membantuku mencari ponselku yang berdering saat ini.

"Ponsel lo di meja makan," cetus Adena, menunjuk ponselku dengan dagunya. Seketika mataku melotot melihat dari jauh layar ponselku yang menampilkan nama Kak Angkasa terpampang jelas.

Aku melihat bola mata Adena bergerak ke arah layar ponselku. Aku menggigit bibir, sport jantungan. Aku takut Adena menangkap nama Kak Angkasa di layar ponselku.

Namun, detik kemudian layar ponselku tiba tiba mati. Sepertinya Kak Angkasa mematikan panggilan telepon padaku. Aku pun menghela nafas pelan, merasa lega Adena tidak sempat melihatnya.

"Eh, iya. Besok kelas 12 wajib masuk. Buat ngambil undangan kelulusan," ujar Adena, tanpa menatapku. Dia sibuk menatap ponselnya.

"Kak, panas - panas gini enak minum es. Traktir dong," pinta Adena, tidak lama kemudian..

***

16 Juni 2019

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang