HIENZE - 44

37 8 0
                                    

Maaf sebelumnya aku tidak mengkoreksi lagi tulisan di part sebelumnya. hehehe.

Dan terima kasih atas pengertiannya, salam sayang dari saya. yang paling manis sendiri. HEHEHEH... (jangan bully gue dong.)


Adena POV

"Saya saranin, papa harus sujud syukur sekarang. Karena saya akan pergi jauh dari sini, dan papa gak akan melihat wajah saya!!"

"Tapi papa harus inget!!! Saya dan Adeva itu anak kandung papa. Indra Ganendra. Darah papa mengalir dalam diri saya dan Adeva. Akan selamanya mengalir!"

Papa tidak menatap gue. Papa sudah membangun tembok besar antara gue dengannya. Papa terlalu keras kepala untuk menutup diri tidak mendengarkan siapapun, termasuk mama yang sudah menangis di sampingnya.

"Kalau papa enggak percaya, buku ini akan menceritakan semuanya. Buku bukti bahwa saya dan Adeva itu anak kandung Indra Ganendra!" Gue mengangkat buku diary mama, kemudian meletakkannya di atas meja.

"Den, maafin gue. Jangan tinggalin rumah," ucap Adeva, menatapku penuh permohonan. Namun, gue tidak terpengaruh, menghempaskan tangan Adeva kasar. Mengabaikan Adeva yang saat ini meneteskan air mata menatap gue.

"Gue titip papa, mama, sama Kak Nurul."

"Oh, iya, pa. Kalau papa masih belum jelas, papa bisa tanyakan langsung kepada Mama Emila. Dia tau semuanya. Dia dulu adalah salah satu pemain mereka."

"Tapi papa jangan benci mama, mama sekarang sudah berubah. Aku juga sudah sayang sama Mama Emila, seperti sayang pada mamaku sendiri. Salma Latief."

"Titip Adeva, pa. Jangan sama kan saya dengan Adeva. Adeva gak berhak dapat kelakuan yang sama dengan saya," ujar gue sebelum keluar dari rumah. Menaiki mobil gue, dan melajukan dengan kecepetanan tinggi.

***

Adeva POV

"Pa, jangan biarin Adena pergi, pa. Adeva mohon."

Papa masih saja tidak peduli. Papa membuang wajahnya jauh – jauh. Menutup telinganya rapat – rapat. Ia sekarang tidak ingin mendengarkan siapapun itu. Termasuk mama yang sudah terlihat putus asa memberitahu papa bahwa ini semua tidak benar.

Sekarang, mama sudah kembali dari luar rumah. Terlihat gagal juga mencegah Adena pergi dari rumah. Mama kembali menangis di sisi papa. Papa hanya memeluknya dengan ekspresi datar. Aku juga mendengar permintaan maaf yang terdengar tulus dari mama.

Mama terlihat terpukul sekali ketika Adena pergi dari rumah. Aku yang melihatnya jadi bingung. Bukannya mama tidak salah? Kenapa seolah mama yang bersalah disini?

"Pa, jangan biarin Adena pergi, pa. Adeva mohon."

"Diam, Adeva!! Kamu ngapain juga peduli sama dia!"

" Pasti besok Adena bakal kembali!! Mau tidur dimana dia? Uang tabungannya juga bakal habis, dan dia pasti pulang. Minta uang!"

Aku menatap papa, memohon. Namun, papa terlalu keras kepala untuk luluh dengan perkataanku. Bahkan perkataan Mama Emila yang biasanya mujarab untuk meluluhkan hati papa saja tidak berefek apa – apa saat ini.

Dan kemudian, aku mengangkat kepala, buku diary hitam yang di pegang Adena tadi, menarik perhatianku.

"Pa, ini buku diary mama. Kata Adena buat papa tadi," ucapku mengulurkan buku itu kehadapan papa.

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang