HIENZE 37

30 6 0
                                    


Adeva POV

Aku menghela nafas panjang, kembali konsentrasi pada buku soal. Namun, sudah beberapa kali berusaha, tetap saja konsentrasiku terpecah. Nafasku masih naik turun, tanganku kembali mengepal, kesal dengan ucapan Adena tadi.

Beberapa detik kemudian, ponsel ku berdering membuatku bangkit dari kursi, membaringkan tubuh sambil mengangkat telepon itu. Ada nama 'Ruri' tercetak jelas di layar itu.

"Iya, Rur, ada apa?"

[Lo keterima SNPTN, Dev?] Suara Ruri terdengar takut – takut.

"Enggak, Rur. Mungkin aku ikut SBMPTN," jawabku pelan.

[Mungkin kita di takdirkan berjuang bersama sama lagi, Dev.]

"Kamu enggak keterima juga?"

[Iya, Dev.]

"Kalau Juna, gimana Dev?"

[Yaelah, tuh anak keterima kali, Dev. Tumben lo tanyain dia?]

"Emang kenapa? kan temen kali, Rur."

[Gue kira ada benih benih cinta,]

"Ngaco aja!"

"Eh, Rur, kamu mau ikut gak ke panti?" tawarku, tiba tiba teringat Barra dan teman temannya.

[Ke panti mana? Sama siapa?]

"Pokoknya cepet kamu siap siap, aku tunggu. Tapi anterin aku ke supermarket dulu, beli oleh oleh buat anak anak panti."

[Bilang aja lo mau nebeng gue, Dev.]

"Udah tau gitu," jawabku kemudian terkekeh, "mau kan tapi, Rur?"

[Iya, deh. Hitung hitung gue reflesing sebelum gue belajar lagi.]

***

Aku dan Ruri saat ini sedang duduk di kursi taman, di bawah pohon rindang. Sedangkan Barra, Kinan, Reno, Maya, dan Elsa sedang asik bergurau sambil memakan snack yang aku bawa tadi.

Barra dan Kinan asik berjoget, sedangkan Reno yang membuat musik alakadarnya dengan mulutnya. Yang lainnya sibuk tertawa melihat tingkah konyol teman temannya. Begitu juga aku dan Ruri ikut tertawa, hingga air mataku keluar.

Perasaanku menghangat dengan excited-nya mereka menyambut kedatanganku. Namun, ada perasaan gudah, berharap aku tidak bertemu Kak Angkasa disini.

"Lo kenal mereka dari ...," kata Ruri menggantung, menyenggol lenganku, "dari Kak Satria?"

Deg.

"Enggak--" Lantas aku mengalihkan pandanganku dari Maya, melotot mendengar penuturan Ruri.

"Hai, Rur, Dev," sapa Kak Angkasa menatap kami, senyumnya seperti biasa mempesona. Sesaat ketika aku mengalihkan pandangan ke arah Ruri, cewek itu terlihat terkesima pada Kak Angkasa.

"Beneran? Lo tau panti ini dari Kak Satria?"

"Enggak, lah. Ngaco aja!" gerutuku kesal. Sedangkan Kak Angkasa tanpa aku sadari, sudah duduk di sebelahku.

"Gue pindah aja, ya, Dev. Takut ganggu," bisik Ruri di telingaku. Lantas tanpa berbicara aku memegang paha Ruri, mencegahnya bangkit meninggalkanku.

"Jadi, gimana pengumuman SNPTN kalian?" tanya Kak Angkasa tiba tiba, menatap aku dan Ruri bergantian. Senyum tipis dan aura bahagianya masih terpancar di wajah tampannya itu.

Hening sesaat, aku menjawab sambil menundukkan kepala, "Enggak."

"Mungkin bukan jalan terbaik kalian, masih bisa ikut SBMPTN kan?"

Ruri mengangguk, menatap ganti Kak Angkasa. "Kak, aku mau ke toilet dulu," ucap Ruri kemudian, bangkit. Tangannya menggandeng Maya yang sempat diminta bantuan untuk mengantarkannya ke toilet.

Sedangkan aku yang tidak ingin berduaan dengan Kak Angkasa, aku ikut bangkit. Namun pergelangan tanganku ditahan, membuatku berhenti, menatap Kak Angkasa yang berusaha tersenyum tipis ke arahku.

"Mau kemana?"

"Aku tau kok, kamu cuman menghindar dari aku kan?" Aku memalingkan tatapan dari Kak Angkasa, kemudian menggeleng pelan.

"Yaudah, kalau enggak, duduk dulu," cengir Kak Angkasa, yang selalu bisa saja membuatku kembali duduk di sampingnya.

"Kemarin kamu makan nasi goreng dari ku?"

Aku mengangguk, masih diam. "Alhamdulillah, kalau gitu."

"Dev.. kenapa kok diam gitu? Apa karena kemarin, kamu jadi diam sama aku?"

"Oke, oke, aku akan jujur. Adena memang pacar aku sekarang, tapi kami pacaran bukan berlandasankan rasa sayang satu sama lain, Dev. Aku enggak sayang Adena."

"Maafin aku udah bohong," lanjut Kak Angkasa, menundukkan kepala. "Tapi aku enggak bohong kok, kalau aku emang sayang kamu, bukan sayang Adena."

"Dev.."

"Aku bisa putusin Adena sekarang juga, demi kamu, Dev."

"Apa kamu enggak mikirin perasaan Adena, Ak? Jika kamu putusin dia karena aku?" jawabku dengan suara berat. Nafasku naik turun.

"Oke, aku juga mikirin perasaan dia, Dev. Di samping itu, aku juga mikirin perasaan aku sendiri, Dev. Aku cuman sayang sama kamu." Kak Angkasa menyerongkan duduknya, menatap ke arahku meski aku tidak membalas tatapannya itu.

"Aku harus gimana?"

"Jangan putusin Adena, Ak. Dia sayang banget sama kamu."

"Aku mau tanya, apa perasaan kamu sama dengan perasaan aku?"

Deg.

Jantungku langsung memompa dengan cepat, mendengar pertanyaan balik dari Kak Angkasa. Bibirku bergetar, tanganku juga bergetar. Namun, bibir ini enggan menjawab pertanyaan itu.

"Dev, jawab," pinta Kak Angkasa lembut, tapi mendesak.

"A-aku ... minta, kamu jangan tinggalin Adena, Ak. Dia sayang banget sama kamu." Kalimat itu lah yang akhirnya keluar dari mulutku. Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata.

"Ta-tapi Dev?" Wajah Kak Angkasa terlihat pias.

"Aku pergi dulu," ucapku, seraya bangkit dan pergi dari situ. 

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang