HIENZE - 17

48 10 4
                                    

Adeva POV

Jangan tanya bagaimana rasanya, karena sangat menyakitkan sekali.

Sebelum itu Kak Angkasa sudah meng-chat aku, ketika Adena sibuk memilih baju baju di toko buku, seolah ia akan membeli semua baju itu. Cewek itu mencobanya satu satu, dan yang pada akhirnya ia hanya memilih satu baju, itu pun jaket bukan baju yang ia coba tadi.

Sedangkan aku yang mulai bosan dengan tingkah Adena yang rempong sekali, hanya duduk di sofa, menunggunya sambil memainkan ponsel.

Lo dimana?

Lagi keluar sama saudara aku. Kakak lagi apa?

Gue lagi jalan jalan ke mall dengan kesendirian. Pasti seru kalo ada lo.

Beneran? Emang ngapain ke mall kak?

Tadi sih beli barang terus jalan jalan aja, bosen di rumah. Lo mau gabung?

Maaf kak, aku enggak bisa. Aku lagi sama saudaraku.

Yaudah kapan kapan aja, lo mau kan temenin gue jalan jalan?

Iya,

Asik mungkin kalo lo ada di samping gue, hehehe.

Dan setelahnya, aku tau aku harus melakukan apa. Aku ingin Adena bahagia dengan cowok yang ia sukai. Aku berencana akan mendekatkan Adena dan Kak Angkasa. Tapi ketika masih sebuah rencana entah kenapa hati ini selalu berteriak? Selalu mengelak? Selalu terasa sakit jika aku berpikiran akan membantu Adena agar lebih dekat dengan Kak Angkasa?

Di toko buku pun aku selalu mengedarkan pandangan hati hati, mencari keberadaan Kak Angkasa. Aku juga was was, takut jika Kak Angkasa yang malah menemukanku.

Pasti akan gagal semua usahaku ini. Pasti Adena bakalan sedih mengetahui kalau Kak Angkasa dekat denganku.

Stop!!

Itu tak akan terjadi! Tak akan!

Dan syukurlah, aku menemukan Kak Angkasa dengan keadaan cowok itu tidak menatapku balik. Aku pun segera memberitahu Adena, menyuruhnya bersama. Begitu uang untuk membayar buku dan ongkos pulang taxi aku terima, dan Adena sudah meninggalkanku menuju Kak Angkasa. Entah kenapa air mataku deras sekali membasahi pipi. Aku tak kuasa tuhan..

Kenapa rasanya sesesak ini?

Secepatnya langkahku keluar dari mall. Aku sudah tak sanggup lagi menahan air mataku agar tidak menetes. Dan juga sangat beresiko jika aku tidak segera keluar dari mall.

Namun, bukannya aku pulang ke rumah. Saat ini rumah Ruri, sahabatku, lah yang aku pilih. Aku sudah tak sanggup lagi menahannya, aku butuh seseorang yang untuk bercerita, dan mendengarkan isi hatiku, yang sedang kenapa kenapa ini..

"Rur" sapaku sambil berusaha tersenyum lebar.

"Astaga, lo kenapa Dev?" Cewek itu terkejut memelukku begitu membuka pintu dan menemukan aku dengan mata yang merah habis nangis. Segera tanpa membuang waktu tanganku ditarik memasuki rumah minimalis itu.

***

Adena POV

Pukul 07.00 hari selasa. Gue keluar mobil, sudah sampai rumah. Kemarin malam gue memang sengaja tidur di rumah Olivia bersama Renata dan Cantika. Jadi sekarang gue disini, menatap malas Papa yang membalas gue dengan tatapan datar biasanya.

"Dari mana kamu?!"

"Tumben papa tanya?" jawab gue mengabaikan Papa, menjulingkan mata, malas. Tanpa babibu lagi, gue mengayunkan kaki masuk ke dalam rumah. Sedangkan Papa yang sudah siap ke kantor, memutar langkahnya. Mengikuti gue kembali masuk ke dalam rumah.

"Adena, dari mana kamu!!!" ucapnya dengan nada meninggi, membuat gue menghentikan langkah, menoleh perlahan ke arah Papa. "Biasanya bukan urusan papa kan?"

Bersamaan itu tangan papa naik hampir menampar gue. Lantas mata gue terpejam, namun, sudah beberapa detik, tidak terjadi apa apa. Tidak panas seperti biasa. Bahkan gue tidak merasakan sentuhan kulitnya.

Perlahan gue membuka mata, mencoba melihat apa yang sedang terjadi. Mama Emila, mama tiri gue itu sudah berdiri tepat di samping gue. Gue juga melihat tangan papa yang hanya tinggal beberapa centi saja, untuk bisa menyentuh kulit pipi gue. Kemudian beralih menatap tatapan papa yang ditujukan pada mama Emila.

Tanpa gue sadar, gue menghela nafas lega. Papa tidak jadi menampar gue. Meski gue sudah pernah merasakan tamparan yang menyakitkan itu, tapi tetap saja gue merasa ketakutan jika harus mendapatkan tamparannya lagi.

"Kamu juga, Adeva, mau kemana lagi?!" sentak papa beralih pada Adeva yang sudah mengenakan seragam rapi sekali, berdiri di samping Mama . Tentu saja membuat gue tidak terima dengan nada papa yang meninggi pada Adeva. Gue menatap Papa dengan dahi mengerut, masih merasakan kesal. Was was jika papa memutar haluan memuntahkan kekesalannya pada Adeva.

"Mau ke sekolah, pa." ucap Adeva menunduk.

"Yaudah, jangan maen macem macem!" ucapnya sambil hanya mendekati Emila, untuk berpamitan pergi ke kantor.

Setelah itu, gue pun langsung mengesksekusi meja makan. Menyantap apa yang ada di atas meja tersebut. Meski mama memandangi gue dengan senyumannya, gue tidak peduli. "Makan yang banyak, biar sehat, ya, Adena." Ucapnya lembut.

Jangan heran, Mama Emila memang baik. Jadi gue masih bisa luluh melihatnya. Bahkan gue kadang tidak enak hati padanya, kalau buat gara gara dengan papa di rumah ini.

"Eh, gimana kabar mamanya Olivia? Mama lama enggak pernah ketemu.." ucapnya lagi. "Baik, kok. Masih bisa buatin aku pancake." Gue mengangkat bahu.

****
Huaaaaaa.... Adevaaa...
Jangan lupa vote, coment dan share yaaa...
Selamat berbuka puasa

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang