HIENZE - 29

28 8 0
                                    

Lantas gue memalingkan wajah ke arah lain, memandangan kosong ke arah depan. Sesaat kemudian, air hujan semakin mereda. Sepasang kekasih sialan itu kembali menaiki motor mereka, meninggalkan gue sendirian. Gue bersyukur sih, dari pada gue harus memperhatikan mereka membuat gue semakin bete aja.

Langit kembali bingung, antara membiarkan dirinya menangis atau menahan air matanya. Sedangkan gue sulit sekali mengekspresikan perasaan ini, perasaan yang menyakitkan sekali. Gue hanya bisa merasakannya, tanpa bisa mengekspresikannya.

Menit segera berlalu, begitu juga jam terus bergulir. Gue semakin gelisah Satria tidak juga menampakkan diri. Ini sudah pukul 7 malam, sudah 4 jam gue menunggu, kedinganan disini. Berselimutkan kedinginan dan kesepian yang entah kapan berakhir.

Apalagi saat ini dada gue terasa sesak, begitu banyak yang tidak gue tau, yang membuat rasa sakit.

Kemudian gue menatap jam kecil berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 19.45. Dan pastinya, pesta sudah dimulai dari tadi. Dan sekarang gue, sudah masa bodo dengan kehadiran Satria. Masa bodo dengan semuanya.

Gue sudah capek!!

Baru saja, gue mengayunkan kaki malas ke arah pulang. High hells yang sendari tadi menemani di samping, gue tenteng di tangan kiri. Ponsel sudah mati kehabisan daya. Dan kemudian, suara yang bariton memanggil nama gue. Gue tau itu Satria. Gue sangat hafal dengan nada dan suaranya yang datar itu.

"Den..."

Namun, panggilan itu tidak menghentikan langkah gue. Gue terus berjalan lunglai, gue hanya ingin sendirian sekarang. Tanpa ada Satria, dan siapapun.

"Adenaa.." kali ini, gue merasakan tangan Satria mencengkal kuat tangan gue. Membuat gue mau tidak mau menghentikan langkah.

"Maafin gue, Den," lanjut Satria dengan suara penuh penyesalan.

"Udah, gak usah. Gue udah biasa. Memang sikap lo seperti itu." jawab gue, pelan, masih tidak ingin memutar badan menatap cowok itu. "Lo gak usah minta maaf, udah biasa kan?"

Satria diam, masih mencegah gue melanjutkan langkah pulang. Beberapa saat kemudian, suara lembut yang belum pernah gue dengar keluar dari mulutnya. "Lo mau kemana, Den?"

Gue masih diam, berusaha melepaskan cengkraman tangan cowok itu. "Gak baik, cewek jalan sendirian."

"Lo, jangan sok peduli deh, sama gue!!" gue mengibaskan cengkraman tangan itu dengan kasar. Namun, kekuatan Satria yang lebih besar dari gue, membuat jari jari Satria tidak bergerak sama sekali pada pergelangan tangan gue.

"Lo kenapa, Den? Lo bisa cerita sama gue," ujar Satria lagi. Cowok itu mengambil nafas, berusaha bersabar.

"Gue ini temen lo, Den. Apa salahnya gue menanyakan keadaan temen sendiri!" bentak Satria, kemudian suaranya melembut seketika. Dia tau, bukan bentakan yang gue butuhkan saat ini. Tapi sebuah pengertian, sebuah sandaran, sebuah telinga untuk mendengar.

Gejolak hati gue membuat gue semakin emosi mendengar ucapan Satria. Tanpa sadar, tangan gue meremas ujung kain gaun yang gue kenakan, dan menggigit bibir kuat.

"Lo temen gue, Den. Lo bisa cerita sama gue."

"Satria!!! Lo itu kenapa sih enggak pernah ngertiin gue, hah? Gue capek seperti ini!! Capek, Sat!!! Pura pura baik, sabar, mengerti keadaan lo. Sedangkan lo? lo gak pernah peduli apapun tentang gue!!" bentak gue dengan dada naik turun, nafas tidak teratur, menatap Satria berkaca kaca. Rasanya emosi gue terasa meluap – luap.

Mungkin karena bentakan gue, wajah Satria sampai terkejut. Namun, cowok itu tidak membuka suara. Malah menatap gue dengan tatapan tidak menyangka. "Rasanya sakit, Sat!! ketika lo gak pernah diharapkan dimana pun lo berada!!"

"Hahahaha," lantas gue tertawa sumbang. Kemudian menatap Satria kosong. "Oh iya, gue lupa, hidup lo kan selalu sesempurna itu, dan gak pernah ngerasain apa yang gue rasain."

"Gue pernah ngerasain, apa yang lo rasain, Den." Segera Satria menarik gue ke dalam pelukannya. Sedangkan gue meronta, berusaha lepas dari pelukan itu. "Salsa, Salsa yang pernah memberi gue sakit itu."

"Jangan peluk peluk gue!! Lepasin!!" Gue menggerakkan semua alat penggerak tubuh, berusaha keluar dari dekapan itu. Dekapan yang semula gue butuhkan. Dekapan yang menjadi mimpi gue. Tapi rasanya, saat ini gue benci sekali dengan itu. Namun, kali ini gue benar benar merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang gue butuhkan.

"Jangan sok peduli sama gue, Sat!!" gue berusaha keluar dari dekapan gue semampu gue, meski tidak akan bisa. Dekapan cowok itu terlalu kuat, hingga gue tidak bisa lepas darinya. "Jangan sok peduli sama gue, kalo lo enggak berniat jatuh cinta sama gue!!" Badan kokoh Satria kuat sekali memeluk gue, tidak membiarkan gue lepas dari dekapannya.

"Jangan peluk gue!!! Lo seperti ini, sama dengan nyakitin gue!! Lo itu mengingatkan gue, kalo kenyataan bahwa lo gak akan pernah suka sama gue!! Enggak akan pernah jadi milik gue selamanya!!" Kali ini sasaran pukulan gue bukan lagi punggung cowok itu, melainkan dada bidangnya.

"Udah, Den, udah."

"Lo gak bakal tau, gimana rasanya menjadi anak haram yang tidak diharapkan dengan dua orang tua lo, sendiri, Sat. Gak akan pernah!!" teriak gue, frustasi.

"Lo juga, lo gak pernah peduli sama gue, Sat. Lo gak pernah!!"

"Gue benci semuanya, termasuk lo, Sat. Gue benci lo yang sok peduli sama gue," Seketika pertahanan gue melemah, gue menangis sejadi jadinya. Kemudian gue merasakan dada gue menyempit.

Dan kemudian, dalam dekapan Satria, seolah dunia berputar. Kepala gue terasa berdenyut hebat. Mata gue juga mengabur, sepertinya ini bukan efek air mata gue. Tapi karena gue merasakan lemas seketika.

Tiba tiba semua menjadi gelap, total. Dan gue tidak tau apa yang terjadi.

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang