HIENZE - 45

36 8 0
                                    

Adena POV

Gue terduduk di depan pusara mama. Rasa bersalah menyeruak hati gue, membuat dada gue terasa sesak. Gue menangis terisak – isak, ingat selama ini gue durhaka tidak pernah berziarah ke pusara mama.

"Ma, maafin Adena. Adena udah jadi anak durhaka, gak pernah jengukin mama disini. Adena menyerah untuk berusaha memaafkan Adeva, ma."

"Adena benci Adeva yang buat mama meninggal, dan membuat Adena harus bertemu papa papa yang dingin, dan egois. Bahkan papa gak pernah anggap Adena."

"Seharusnya ziarah itu menceritakan kebahagiaan, bukan?"

Sontak gue terdiam, segera mengusap pipi gue yang basah karena air mata. Gue hanya tidak mau orang lain melihat kesedihan yang gue rasakan. Gue benci dikasihani. "Bukannya berbohong itu dosa, ya? apalagi di depan makam," balas gue.

"Meski gue harus berbohong, gue akan bercerita bahagia di depan makam orang tua gue. Biar mereka disana gak khawatir dengan keadaan gue di dunia ini." Orang itu ikut berjongkok di sisi gue. Gue hanya memperhatikan sepatu hitam Convers yang dikenakan orang itu. Dari sepatunya sih, gue rasa dia seorang laki – laki.

"Lo boleh berpikiran seperti itu, tapi gue gak."

"Kenapa?"

"Karena gue ... benci sama papa dan gue ingin ikut mama ke surga!"

Tiba – tiba orang itu mendekap gue, erat dan hangat. Gue merasa tidak asing dengan dekapan hangat dan menenangkan ini. Yang membuat gue diam, tidak melakukan perlawanan. Rasa hangat dan menenangkan langsung menjalar di setiap sel tubuh gue.

... dan sepertinya gue tidak asing dengan aroma parfum ini.

"Zee," panggil gue lirih.

"Iya ini gue, Den."

"Lo ngapain kesini?" Gue melepaskan diri dari dekapan cowok janggung beralis tebal itu, kemudian menatapnya dengan kedua alis menyatu, bingung.

"Sama kaya lo."

"Jadi orang tua lo udah meninggal? Kapan Zee? Lo kok gak pernah beritahu gue?"

"Bukan, gue ke makam nenek dari papa gue," ujarnya, lalu menyengir. Tangannya bergerak menghapus air mata gue yang masih bisa loloskan diri dari pelupuk mata gue, membasahi pipi.

"Udah, ya, lo jangan sedih lagi."

"Jangan minta ikut sama mama lo juga, ya."

Gue diam, kembali menatap pusara mama. "Apa gue salah bilang seperti itu di depan pusara mama gue, Zee?"

"Emm.. enggak sih. Tapi kasian aja, mama lo pasti ikutan sedih kalau lo sedih seperti ini."

***

Adeva POV

Udah seminggu Adena tidak kembali pulang, kamarnya jadi kosong. Sedikit berdebu. Aku duduk dipinggiran kasur milik Adena, mataku menjelajah melihat setiap jengkal isi kamar ini. Kamar yang rapi, dari biasanya yang selalu berantakan.

Kemudian mataku terpaku buku di atas meja belajar Adena. Itu 2 novel karya Adena. Lalu aku meraihnya, membolak – balikkan, dan meneliti cover itu. Jujur aku memang tidak suka membaca novel seperti ini. Bukan karena aku tidak suka. Hanya saja semenjak menginjak kelas 11 SMA, aku mengurangi membaca novel. Aku lebih fokus ke materi pelajaran. Dan sepertinya aku tertarik membaca kisah yang Adena torehkan disini, yang sudah digandakan berkali lipat.

Merasa seseorang ada yang memperhatikanku. Lantas aku menoleh ke arah pintu kamar. Ada ppapa yang berdiri disana. Tatapannya kosong menatapku, kemudian menjelajah setiap jengkal kamar Adena.

Sudah seminggu ini papa terlihat menjauh dari mama. Hubungan mereka merenggang. Mama juga terlihat sedih dengan sikap papa semingguan ini. Aku dan Kak nurul ikutan sedih, tapi bingung harus melakukan apa.

"Adeva,"

"Iya, pa." Aku menunduk. Masih ada rasa takut seperti biasanya di dalam diriku ketika papa memanggilku. Papa pun berjalan mendekat, matanya masih menjelajah setiap sudut kamar Adena. Meneliti setiap sudut kamar Adena yang terlihat hampa.

"Cita – cita kamu apa?" Papa duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Aku merasakan ada rasa kasih sayang dalam tatapan itu. Dan jantungku semakin berdegub kencang. Takut kejadian yang lalu bakal terulang lagi.

"Emm.. Adeva akan ambil jurusan kedokteran di tes tulis selanjutnya, kok, pa."

"Adeva..."

"Iya, pa." Aku masih menunduk, menatap ujung kakiku.

"Kamu ingin jadi penulis juga seperti Adena?" Papa mengambil novel dari tanganku. Kemudian tangannya mengelus cover buku itu.

Aku menggeleng sebagai jawaban. "Jadi apa cita – cita kamu?"

"Adeva.. ingin jadi ahli kimia, pa. Adeva suka belajar kimia."

"Yaudah, kamu belajar yang rajin. Biar diterima di PTN favorit kamu."

"Iya, pa, makasi," ucapku, menunduk. Ada keterkejutan sekaligus kebahagiaan yang sama – sama aku rasakan saat ini.

"Maafin papa selama ini, ya. Papa masih belum jadi papa yang baik buat kalian. Tapi papa janji papa akan berubah, memperbaiki semuanya. Adena juga papa pastikan akan kembali."

"Maafin Adeva dan Adena juga, pa." Aku berdiri, ragu - ragu untuk memeluk papa. Tapi aku ingin memeluk papa, merasakan pelukan hangat papa yang tak pernah aku rasakan selama ini. Namun detik kemudian, aku yang sudah tak tahan untuk tidak memeluk papa, akhirnya aku memeluk papa juga. Papa juga menerima pelukanku, memelukku sangat erat sekali.

Tidak lama hanya beberapa menit, tapi itu sudah cukup buatku. Aku melepaskan pelukan dari papa. Perasaanku saat ini sudah lebih baik. Aku senang juga, akhirnya papa mengakuiku dan Adena sebagai anaknya. Meski pengungkapannya bukan lewat kata – kata, tapi aku tau, papa sudah berubah. Papa menyesal atas semua tindakannya padaku dan Adena.

"Adena, anak papa satunya lagi juga sama hebatnya, udah bisa nerbitin buku. Papa bangga sama kalian." Papa tersenyum. Senyuman tulus, yang membuat perasaanku menghangat. Tanpa sadar, aku ikut mengangkat kedua sudut bibirku. Tersenyum.

"Sekarang Adena tinggal dimana? Papa mau jemput."

Aku menggeleng. 3 hari yang lalu aku sudah pergi ke Jakarta mencari Adena bersama Kak Angkasa. Hanya untuk mencari Adena, tidak ada tujuan apapun, kok. Ini murni demi Adena, karena Kak Angkasa mendapat kabar bahwa Adena ke Jakarta. Tapi itu hanya kabar burung. Hasilnya nihil. Bahkan rumah yang kita tinggali dulu kosong, tidak ada jejak siapapun, karena juga disewakan. Dan aku bertanya pada penjaga makam, tidak ada orang yang menunjungi pusara mama selain aku.

"Adeva udah cari Kakak ke Jakarta, pa. Tapi dia tidak kesana sama sekali. Ke pusara mama saja tidak."

Papa terlihat sedih lagi setelah mendengar berita itu.

"Pa.." panggilku. "Kakak bakal baik – baik saja kok. Kakak itu cewek yang pemberani, pa. Adeva janji bakal akan terus cari kakak."

Papa kembali menatapku, memaksakan senyumnya. Sebelum pergi, papa sempat mengusap puncak kepalaku. Yang membuatku tidak henti – hentinya menyunggingkan senyum bahagia. "Ini salah papa. Biar papa saja yang cari, Dev."

Adeva menggeleng lemah, "Ini juga salah Adeva, pa. Kita akan cari sama – sama aja, pa."

Papa mengangguk, kembali memaksakan senyumnya. "Yaudah papa berangkat kerja dulu. Besok insyaallah papa akan cari Adena."

"Pa..." panggilku lagi. Lantas papa menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku sebelum keluar dari kamar ini. "Kakak sama Adeva sayang banget sama mama. Maksud Adeva, mama Emila, pa. Pasti papa juga sayang kan? Papa jangan tinggalin mama Emila, ya. Jangan menjauh dari mama Emila."

Papa diam, tidak menjawab. Kemudian keluar tanpa berucap apapun.

*** 

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang