HIENZE - 51

54 6 0
                                    

"STOP Rul!!" Kak Nurul menahan tangannya. Gue menelan ludah, nafas gue terdengar naik – turun cepat. Wajah gue sudah memerah, siap meledakkan amarah. Beruntung gue masih bisa menahannya dengan mengalihkan tatapan ke arah pandangan Kak Nurul. Ke sumber suara di depan pintu. Disana berdiri mama, Adeva, dan papa yang duduk di kursi roda. Sesaat gue memindai tubuh papa yang terlihat agak kurus, pucat. Tatapan matanya saja terlihat lelah.

Fiks, gue kasian melihat papa seperti ini.

Seketika gue membatu melihat pemandangan itu. Tatapan papa.... tatapan papa kali ini pasrah dan penuh penyesalan ke arah gue. Gue melihat ada ribuan kata yang ingin papa ucapkan ke gue.

Papa berjalan meninggalkan kursi rodanya. Langkahnya perlahan, tapi pasti ke arah gue. Kemudian tiba – tiba memeluk gue, membuat gue membatu, membulatkan mata terkejut. "Maafin papa, Den. Papa banyak salah ke kalian. Papa ini egois, tidak tau diri."

"Kenapa papa nyamperin Adena? Kenapa?"

"Maafin papa, Den. Maaf," ucap papa.

"Papa masih sakit. Kenapa nyamperin Adena? Seharusnya Adena yang nyamperin papa," ucap gue menatap serius papa, tanpa emosi. Lebih tepatnya menahan.

Begitu papa melepaskan pelukannya, gue bisa melihat air mata penyesalan akhirnya turun membasahi pipi papa. "Papa salah selama ini udah tidak peduli, egois sama kalian. Papa selalu melampiaskan kekesalan ke kalian. Maafin papa. Papa janji papa akan perbaiki semuanya. Papa ingin kamu kembali ke rumah, Den. Semua kangen sama kamu. Papa juga."

Papa menundukkan kepala, menutupi matanya yang sudah menangis terisak tak tertahankan.

"Papa memang bodoh! Papa tidak bisa melihat kebenaran yang ada, yang membuat anak – anaknya sendiri yang menjadi korban!" Suara papa semakin memelan. "Papa bukan papa yang baik buat kalian!! Papa enggak pantas jadi papa kalian!"

"Papa tau diri, papa berhak mendapatkan ini semua atas kesalahan papa. Papa tidak akan memaksa kalian memaafkan papa. Tapi kamu pulang ya, Den. Papa ingin lihat pertumbuhan kamu dan Adeva. Meski papa tau ini sangat telat sekali."

"Papa jangan bilang seperti itu," lirih Adeva mendekati papa, menatap papa dengan uraian air mata yang sudah membasahi pipi. Begitu juga mama yang ikut menangis terisak – isak. "Papa enggak salah. Kita yang salah, pa. Udah durhaka sama papa. Enggak nurut sama papa."

Gue tertegun, membatu, menahan air mata ini agar tidak membasahi pipi. Karena gue benci situasi ini. Gue benci ketika gue terlihat lemah tak berdaya seperti ini. Namun, dinding pertahanan yang gue bangun sekokoh mungkin itu perlahan terkikis oleh air. Tinggal menunggu waktu saja, dinding itu akan runtuh. Dan tangis gue pecah.

"Tidak, Adeva. Papa yang banyak salah sama kalian. Semenjak 16tahun lalu, papa sudah buang kalian, tidak peduli sama kalin." Tangannya mengelus pipi Adeva, dengan memaksakan senyumnya menatap Adeva. "Bahkan papa sudah menyakti hati kalian, tidak pernah menganggap kalian anak papa."

Gue tidak bisa menghindar kalau gue memang sayang sama papa, gue meninginkan sosok papa hadir dalam hidup gue. Karena selama 16 tahun gue mendambakan seorang papa, dan baru ini Allah mengabulkannya. Tidak mungkin kan gue tidak menangis jika papa yang gue dambakan ini sedih karena gue?

Detik kemudian, dinding pertahanan itu gue hancurkan sendiri. Rasa gengsi, ego gue entah kemana sekarang. Sekarang gue hanya ingin memeluk papa. Menenangkannya. Gue tidak ingin melihat papa sedih, papa menyalahkan dirinya sendiri. "Kita mulai dari awal, pa. Jangan ungkit masa lalu. Papa tetap papa yang Adena dambakan."

"Adena sayang papa, mama, Adeva, dan Kak Nurul." Hati gue terasa lega ketika gue berusaha memaafkan papa.

"Iya, Adena. Papa janji, papa akan memperbaiki semua," ujar papa, mengangkup wajah gue dalam tangannya, kemudian menatap gue penuh janji. Gue seketika sadar, melihat wajah papa sedekat ini, membuat gue tau bahwa papa semakin keriput. Papa semakin tua.

"Papa juga harus janji jangan jauhin mama." Gue menaruh tangan di lengan papa, berusaha melepaskan tangannya dari wajah gue. Karena jujur gue masih canggung seperti ini. Dan gue benci situasi menyedihkan dan haru seperti ini.

"Maafin semua kesalahan mama juga. Dulu mama udah buat kalian jauh dari papa kalian." Mama menundukkan kepala, menyahut. Seketika air mata gue kembali jatuh melihat wajah mama saat ini. Wajah tua yang terlihat lelah akan semuanya. Kantung matanya sudah hitam, matanya sayu menatap gue. Tapi masih tetap hangat.

"Ma-maksud mama apa?" sahut Adeva, menatap mama menuntut penjelasan.

"Sebelumnya maafin mama, Dev. Mama yang buat papa kalian salahpaham tentang mama kamu, Dev. Mama udah egois mengambil papa dari kalian. Bahkan waktu itu kalian belum lahir."

Adeva telrihat terkejut mendengar pengakuan mama. Kalau gue, gue udah tau semuanya dari buku dairy mama. Gue hanya diam, mendengarkannya. Berharap Adeva juga bisa bersikap dewasa.

"Maafin mama, Dev." Mama menangis terisak – isak, memeluk Adeva yang masih membatu. "Maafin mama."

"Adeva sayang banget sama mama Emila," lirih Adeva, menerima pelukan mama dengan erat. "Adeva gak bisa benci mama."

"Aku juga sayang mama."

"Makasi, kalian udah nerima papa lagi. Udah menerima mama dan Kak Nurul." Papa tersenyum tulus, kembali memeluk gue. Air mata haru papa, mama, Adeva dan Kak Nurul terurai begitu saja.

Dan gue benci dipeluk erat – erat seperti ini. Nafas gue selalu terganggu akan itu.

"Pa, Adena sesak nafas. Jangan erat – erat," ujar gue dengan mencoba melepaskan pelukan papa yang semakin erat. Yang menghalangi dada gue untuk bekerja seperti biasa.

Dan seketika semua orang tertawa, begitu juga papa yang menyengir ke arah gue. Tidak enak hati.

*** 

Huaaaaahhh...

Akhirnya tamat juga...

Gimana coment kalian tentang cerita ini


Bye Adena & Adeva,

Doain yg baik untuk saya, ya.

saya bakalan selalu sayang kalian. 

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang