HIENZE - 49

35 6 1
                                    

Adeva POV

"Dev, kita langsung pulang, kan?"

"Tapi—aku takut kamu kecapekan nyetir."

"Gak papa. Aku udah biasa nyetir jarak jauh."

"Yaudah, Ak. Tapi kalau capek, kita istirahat dulu atau biar aku gantiin."

Beberapa menit kemudian, tanpa sadar air mataku kembali membasahi pipi. Aku sedih melihat Adena yang berubah jadi semakin keras kepala, dan apatis seperti ini. Apalagi pikiranku dibagi menjadi dua, karena papa saat ini sedang berada di rumah sakit. Entah gimana keadaannya sekarang.

"Udah, Dev. Beriringan waktu, Adena akan mengerti semuanya. Adena akan memaafkan kamu." Tangan Kak Angkasa memegang tanganku, menyalurkan ketenangan yang memang aku butuhkan.

"Aku tidak masalah tentang itu, Ak. Hanya saja, Adena udah berubah semakin keras kepala, apatis. Adena masih belum memaafkan papa."

Kak Angkasa mengangguk, seolah mengerti semuanya. Kemudian Kak Angkasa memilih diam. "Seminggu yang lalu papa sama Adena bertengkar soal SNPTN itu. Lalu papa yang emosi mengusir Adena."

"Maafin aku, Ak. Sebenarnya ada masalah di keluarga aku, yang membuat Adena pergi dari rumah."

"Iya, gak papa, Dev. Aku juga merasa bersalah, aku juga ingin bicara dengan Adena."

***

Adena POV

Ternyata selama ini gue sadar, gue sudah salah. Semua itu bukan soal kesenangan untuk memuaskan hati semata. Bukan soal keinginan hati untuk menjadi egois yang merugikan orang lain. Melainkan soal perasaan setiap orang, yang tidak bisa dipaksakan.

Gue benar - benar melepaskan Satria. Disamping gue sudah kalah di perjanjian itu gue akan berhenti. Gue juga gak ingin menambah beban di pikiran gue. Gue ingin bebas, sebebas - bebasnya manusia tanpa ada keterikatan dengan sesama manusia yang membuat gue gila seperti ini. Arghh...

Sekarang bukan Satria atau siapa yang bersarang dipikiran gue. Melainkan papa yang entah terakhir gue dengar papa masuk di rumah sakit tadi pagi.

Gue sudah berusaha menyibukkan diri, menonton film di laptop, menulis sesuatu—juga malah gue gak bisa konsentrasi. Gue mengetukkan ujung jari di meja kayu yang terletak di teras rumah. Kegelisahan ini menyerang gue sampai saat ini, tidak juga mereda. Gue merasa orang gila yang berusaha sekuat tenaga agar tidak gila.

"Den," panggil Zee, duduk di hadapan gue. Matanya terpancar kekhawatiran menatap gue, membuat gue mengalihkan pandangan dari mata hitam itu.

"Lo kenapa keliatan gelisah gitu? Lo khawatir keadaan papa lo?" Dan entah kenapa seketika pertanyaan itu bagaikan pisau yang langsung menusuk hati gue.

"Gue tau cerita lo dari dulu, Den. Dan gue tau perasaan lo, meski gue gak pernah merasakan sakit itu. Iya, papa lo emang salah, udah egois sama lo. Udah dingin sama lo. Udah gak peduli sama lo. Dan gue disini gak nyalahin lo. Tapi lo sebagai anaknya gak boleh ninggalin begitu saja. Ini kewajiban lo, Den. Kewajiban lo sebagai anaknya harus buat luluh hati papa lo. Buat papa lo berubah, Den."

Gue diam, mendengarkan Zee berbicara. Sekali, dua kali gue mencerna setiap kata yang keluar dari bibir tipis milik Zee. "Tapi lo gak pernah tau gimana sikap papa gue selama ini sama gue. Anak kandungnya sendiri! Dia itu keras kepala, egois."

"Maafin ucapan gue sebelumnya, Den. Tapi ini lah gue, gue selalu apa adanya. Lo harus ngaca. Lo itu juga keras kepala, kadang egois. Tapi entah kenapa gue sayang sama lo." Gue menajamkan mata gue menatap ke arah Zee. Lebih tepatnya gue kesal dengan cowok itu. Enteng sekali dia mengatain gue seperti itu. Tapi gue hanya diam, masih menatap cowok itu tajam. Dan dia seolah tidak bersalah, menatap gue balik dengan santai.

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang