HIENZE - 41

33 7 0
                                    

Adena POV

Gue langsung membanting tubuh di sofa ruang tamu. Rumah saat ini sepi, Kak Nurul belum juga kembali dari rumah sakit semenjak tadi malam. Tadi pagi, gue pamit pulang dulu ketika Kak Nurul sibuk dengan pasiennya.

Adeva yang berangkat dan pulang bersama, cewek itu langsung menuju dapur. Entah apa yang dia lakukan saat ini.

Gue merebahkan tubuh di sofa, memeluk bantal sofa dengan menonton TV. Begitu mendengar bel pintu berbunyi, gue langsung memejamkan mata. Pura – pura tidur. Males banget gue bukain pintu Kak Nurul yang gak mau
beliin gue sarapan tadi.

"Den.. bukain pintunya.."

"Den, tolong bukain pintunya. Gue masih goreng telur, nih. Laper," teriak Adeva dari dapur. Namun gue diam saja, pura – pura tidur.

Beberapa detik kemudian, gue berdecak, bel itu kembali berbunyi. Padahal beberapa detik yang lalu sudah berhenti. "Eh, udah tidur? Pantesan bel rumah masih aja berbunyi," ucap Adeva yang terdengar jelas sekali, namun perlahan mengecil. Mungkin dia saat ini menjauh, berjalan untuk membuka pintu rumah.

***

Adeva POV

Aku membulatkan mata begitu membuka pintu yang terlihat adalah Kak Angkasa dengan balutan jaket bombernya. Menambah kesan keren cowok itu.

"Dev," sapanya, tersenyum. Binar matanya kali ini sayu, terlihat sedih. Membuatku menunduk, tidak tahan melihat Kak Angkasa sedih seperti ini.

"Kenapa gak pernah bales chat dari aku? Udah 10 hari, kamu gak balas chat aku. Tiba – tiba menjauh gitu aja. Kamu kenapa sih, Dev? Aku khawatir banget sama kamu," ujar Kak Angkasa dengan suara lembut. Binar matanya masih sayu. Berusaha menjalin kontak mata denganku.

Kak Angkasa meraih tanganku, mencegahku menghindar yang entah keberapa kalinya.

"Kak Nurul!" teriakan Adena, membuatku menoleh ke asal suara. Buru – buru aku menarik tanganku, menjauh dari Kak Angkasa beberapa langkah, sebelum Adena berpikir macam – macam. Rasanya aliran darah tidak bekerja lagi, tanganku terasa dingin, aku menggigit bibir bawah kuat – kuat. sangking takutnya ketahuan.

"Den," sapa Kak Angkasa yang sepertinya ikut terkejut dengan kehadiran Adena. Tapi kemudian ekspresinya cepat sekali berubah tenang.

"Eh, Satria," jawab Adena seraya berjalan mendekat ke arah kami. Senyum Adena terlihat tulus sekali menatap Satria. Ada kebahagiaan yang terpancar dalam senyum dan tatapan Adena pada Kak Angkasa. Sedangkan Kak Angkasa melirikku sebentar, kemudian memandang Adena.

"Yaudah, aku masuk dulu," pamitku segera.

***

Adena POV

Melihat wajah datar dan dingin Satria saat ini membuat gue kesusahan meneguk lidah.
Kemudian gue segera mempersilahkan Satria duduk. Rasanya ada hal aneh yang disembunyikan Satria saat ini. Gue juga jadi merasa canggung, aneh ketika ingin membuka sebuah obrolan dengan cowok itu saat ini.

"Sa-t," desis gue, menatap Satria yang saat ini fokus ke layar ponselnya.

"Iya," jawab Satria pelan, tatapannya datar. Tatapan dulu yang selalu gue lihat jika menatap gue.

"Aku buatin minuman, ya?"

"Gak usah, gue mau balik."

"Kok cepet banget, sih Sat? Padahalkan baru aja nyampe," ujar gue berusaha membuat Satria nyaman.

"Gue cuma mau beritahu, Renata dan yang lainnya besok lusa mau ngadain pesta."

"Yaudah, gue balik dulu," sambung Satria terburu – buru pamit. Gue tidak bisa mencegahnya, ketika melihat ekspresi bete cowok itu.

"Yaudah, kamu hati hati, ya..," ucap gue pada akhirnya. Gue pun mengekori Satria sampai depan rumah. Menghela nafas frustasi begitu mobil Satria meninggalkan pelataran rumah.

***

Hari besoknya, gue menyerahkan semua pengambilan surat kelulusan kepada papa dan Kak Nurul. Karena gue akan menemui Satria di café.

Setelah memastikan tukang ojek online yang gue pesan dari ponsel Kak Nurul sudah tiba di depan rumah, gue segera mendekat, mempercepat gerak. Gue memang tidak punya dan tidak ingin menginstal aplikasi tersebut, karena memenuhi memori saja. ahahah. Ribet. Gue lebih suka keluar sendiri pake mobil, sekalian jalan – jalan.

Rasanya gue tidak sabar untuk bertemu Satria. Penasaran kenapa Satria memaksa gue ketemu seperti ini. Di café yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, dan gue disuruh naik ojek online pula.

Begitu motor tukang ojek yang gue naiki melaju, sekilas mata gue tertuju pada mobil hitam yang mengkilap di sebrang jalan rumah. Mobil yang menarik perhatian gue. Mobil hitam yang mengkilap bersih. Yang membuat gue melamun hingga tak sadar sudah berada di hadapan café.

"Bu udah sampai," ujar tukang ojek itu. Seketika gue melotot mendengar panggilannya pada gue dengan sebutan 'bu'.

"Saya masih umur 17, mas!!" jawab gue sedikit nyolot. Mata gue menjuling kesal. Ya, emang siapa yang terima kalau dipanggil dengan sebutan 'bu'. Emak – emak aja ada yang gak mau dipanggilan dengan sebutan 'bu'. Apalagi gue yang masih umur 17 tahun ini.

Tukang ojek itu membuka kaca helmnya, kemudian menyengir seolah ia tidak bersalah. Bisa dilihat dari garis – garis wajahnya, tukang ojek itu masih berumur 25 tahunan. "Lah mbak saya panggil – panggil enggak nyahut – nyahut."

"Maafin saya ya mbak, saya cuman becanda."

"Iya, mas. Saya minta maaf juga," ucap gue pada akhirnya, sambil menyerahkan uang dan tersenyum memaksa. Kemudian masuk ke dalam café, menunggu Satria yang belum datang, dengan duduk di kursi bar yang tinggi. Memperhatikan bartender membuat pesanan gue. Coffe americano.

Iya memang café ini di desain seperti bar. Ada bartender yang bisa kalian lihat langsung ketika kalian memesannya dan duduk di kursi bar.

*** 

17 Juni 2019 

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang